KISAH-KISAH

 Buah Apel Membawa Kesuksesan Dunia dan Akhirat

  • Kunci kesuksesan Pertama (1)



Mulailah dengan kejujuran
(Kisah pernikahan ayah Imam Abu hanifah )
Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh keluar pagarsebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah, membuat air liur Tsabit keluar apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berfikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat itu, akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin pemiliknya.

 Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar meminta dihalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, “Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadam yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebunnya.”

Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Di mana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah ku makan ini.” Tukang kebun itu memberitahukan, “Apabila Engkau ingin pergi kesana maka Engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam”.

Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah s.a.w. sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka”

Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata,” Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah ku makan itu?”

Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak boleh menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak dapat memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan?” Orang itu menjawab, “Engkau harus mengawini putriku !”

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu?”

Tetapi pemilik kebun itu tidak mempedulikan pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!”

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak boleh menghalalkan apa yang telah kau makan!”

Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”.

Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan selesai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah mengelilingi dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, “Assalamu”alaikum…” Tak disangka sama sekali wanita yang ada di hadapannya dan kini resmi jadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik.

Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut uluran tangannya.

Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula,” kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berfikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya?

Setelah Tsabit duduk di samping isterinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahawa engkau buta. Mengapa?” Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”. Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa Engkau tuli, mengapa?” Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, kerana Aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa Aku bisu dan lumpuh, bukan?” tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal Aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja.

Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dapat menimbulkan kemarahan Allah Ta’ala”.

Tsabit amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat soleh dan wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang isterinya, “Ketika kulihat wajahnya… Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.

Tsabit dan isterinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikurniakan seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, beliau adalah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.



  • Kunci kesuksesan kedua (2)



Kisah tentang Syaikh As-Sa’di dengan Syaikh Al-Utsaimin.
                                                Teguh dan Sabar dalam menuntut Ilmu

Suatu saat, Syaikh Utsaimin datang mengunjungi kota Madinah. Salah seorang kaya mengundang beliau makan malam di rumahnya. Hadir bersama beliau dalam jamuan makan malam tersebut, empat orang, termasuk Syaikh Abdrurrozaq dan Syaikh Utsaimin. Saat memasuki ruang makan, pandangan Syaikh Utsaimin tertuju pada tumpukan buah-buahan beraneka ragam yang tertata rapi menyerupai gunung kecil. Syaikh lalu mengambil buah apel dari tumpukan tersebut, lantas berkata kepada kami, “Tahukah kalian, kapan pertama kali aku memakan buah apel?”

Kemudian, Syaikh Utsaimin pun bercerita, “Dahulu, Syaikh As-Sa’di mengajar buku yang agak berat, yaitu Qawa’id Ibni Rajab. Kitab ini agak sulit dipahami karena berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih. Pada awalnya, banyak murid beliau yang hadir, namun lama-kelamaan berkurang, hingga akhirnya saat beliau menamatkan kitab tersebut, hanya tinggal aku sendiri bersama beliau. Setelah itu, beliau merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir apel berwarna merah. Baru pertama kali aku melihat buah seperti itu. Beliau berkata, ‘Ini buah tuffahah (apel), yang dimakan bagian dalamnya. Ada bijinya di dalam. Jangan dimakan.’ Aku sangat gembira menerima hadiah tersebut, maka aku segera pulang dan mengumpulkan seluruh keluargaku, istri dan anak-anakku, lalu kutunjukkan kepada mereka buah tersebut. Karena mereka juga baru pertama kali melihat buah apel, maka ada yang berkata, ‘Apakah ini tomat?’ Akhirnya aku membelah-belah buah apel tersebut lantas kubagikan kepada keluargaku.”

Demikianlah, Syaikh Abdurrozak menceritakan kisah yang pernah didengarnya langsung dari Syaikh Utsaimin. Subhanallah, hanya sebutir apel akan tetapi sangat berkesan di hati Syaikh Utsaimin dan menyenangkan beliau bahkan keluarga beliau.

Syaikh Abdurrozaq pernah berkata, “Ya Firanda, meskipun sebuah hadiah nilainya tidak seberapa tetapi bisa jadi sangat menyenangkan hati orang yang diberi. Suatu saat, aku pernah bertemu seorang penuntut ilmu dari Kuwait, dan aku hampir lupa kalau aku pernah mengajarnya. Lantas, saat kami bertemu, dia segera memelukku kemudian mengingatkan aku bahwa dia pernah aku ajar di bangku kuliah. Bahkan dia berkata, ‘Ya Syaikh, aku tidak pernah lupa hadiah bunga yang Syaikh berikan kepadaku, sampai sekarang masih aku simpan di bukuku.”Lihatlah setangkai bunga yang tidak bernilai tetapi sangat berkesan di hati orang tersebut.
[dikutip dari buku : "DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA" (Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah) Oleh: Dr. Abu Abdil Muhsin Firan



 

  • Kunci kesuksesan ke 3



Kisah tentang pohon apel
(Berbakti kepada kedua orang tua)

Alkisah ada sebuah pohon apel yang sangat mencintai seorang anak laki-laki. Setiap hari si bocah berlarian mendatangi tersebut. Ia mengenakan daunnya, dan merangakinya menjadi sebuah mahkota. Kadang bocah ini memanjat dan berayunan di dahan pohon. Saat lapar dia juga memakan buahnya. Setelah lelah bermain, diapun tertidur dibawah keteduhan bayangan si pohon apel.
Si bocah sangat mencintai pohon ini, dan pohon pun begitu pula.
Waktu berlalu, si bocah pun beranjak dewasa. Pohon kesepian tanpa keriangan si bocah…
Suatu hari si bocah yang sudah dewasa pun datang kembali..
Pohon berkata, “Hai anak muda, silahkan naik kebadanku seperti dahulu, makanlah buahku, ayo kita bermain lagi”
“Aku bukan anak kecil lagi, aku tidak akan memanjat pohon dan bermain seperti dulu lagi. Aku ingin membeli mainan, aku perlu uang pohon. Bisakah kau memberiku uang?”, jawab si bocah.
“Maaf..”kata pohon, “aku tidak punya uang nak.. ambillah buah apel dan daunku, juallah ke pasar, kamu akan mendapat uang dan bergembiralah..”
Si bocah sangat bersemangat, lalu memetik buah dan daun pohon apel, dan membawanya pergi..
Lama sekali setelah itu, si bocah tak kunjung kembali.. Pohon merasa sedih dan sepi..
Hingga suatu hari, si bocah datang kembali..
Pohon apel sangat gembira, sampai bergetar..
Pohon berkata, “Ayo nak, naikklah ke badanku, bermainlah seperti dulu..”
“Aku sangat sibuk, tidak sempat lagi memanjat pohon” kata si bocah. “Aku butuh rumah untuk menghangatkan diri, bisa kah kamu memberi.”tanya si bocah berharap.
Pohon menjawab “Aku tidak punya rumah, hutan adalah rumahku. Tapi kamu bisa membelah hutan, dan memotong dahan-dahanku untuk membuat rumah”
Si bocah segera menebang dahan di pohon dan membawanya pergi..
Namun lama setelah itu, si bocah tidak datang lagi..
Saat si bocah datang lagi, saking gembiranya, pohon tua tak mampu berkata banyak..
Ayo nak, bermainlah..
Aku sudah tua, bocah yang telah berumur itu melanjutkan.. aku ingin sebuah perahu yang bisa membawaku pergi. Bisakah kau memberiku sebuah perahu?
Tebanglah aku, dan buatlah perahu.. pergilah berlayar dengan gembira..
Si bocah tua pun menebang pohon apel, dan membuat perahu lalu berlayar pergi..
Setelah sekian lama, si bocah tua kembali datang. 
Pohon tua berkata “maaf nak, tidak ada apapun yang bisa aku berikan lagi”
Si bocah tua menjawab, “Aku pun sudah tua, yang aku butuhkan tidak banyak lagi.. aku butuh tempat yang tenang untuk beristirahat karena aku sangat letih”
“Tepat sekali, aku sisa pohon yang sangat tua, sangat tepat untuk kamu gunakan duduk. Mari nak, beristirahatlah di badanku..”, kata si pohon.
Si bocah tua pun dengan badan terbungkuk meletakkan diri diatas pohon untuk beristirahat..
Sahabat, pohon apel ini seperti ibu dan ayah kita, saat mereka kesepian sendirian, saat mereka membutuhkan kita, dimanakah anaknya berada. Semua telah diberikan untuk kita, berapa banyak waktu yang telah mereka sisihkan untuk kita, dan berapa banyak perhatian yang kita berikan untuk mereka?
Suatu saat kelak, kita pun akan menjadi pohon seperti mereka. Semoga, suatu saat kita pun akan menjadi pohon yang berbahagia, karena sejak kini kita selalu membahagian orang tua kita..
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar