KUMPULAN ADAB-ADAB SEHARI HARI
Oleh Dzulqarnain Bin Iskandar/Soppeng 18-1-2015
KATA PENGANTAR
Suatu ketika Imam Laits Bin Sa’ad melihat para penuntut hadits,
kemudian beliau melihat ada kekurangan dalam adab mereka, maka beliau berkata:
“Apa ini!, sungguh belajar adab walaupun sedikit lebih kalian butuhkan dari
pada kalian belajar banyak ilmu". (Al-Jami’:1/405)
Imam Adz-Dzahabi berkata: “Penuntut ilmu yang datang di majelis
imam Ahmad lima ribu orang atau lebih, lima ratus menulis hadits, sedangkan
sisanya duduk untuk mempelajari akhlaq dan adab beliau”. (Siyar A’lamun
Nubala’:11/316)
Berkata Abu Bakar Bin Al-Muthowi’i: “Saya keluar masuk di rumah Abu
Abdillah (Imam Ahmad Bin Hambal) selama 12 tahun sedangkan beliau sedang
membacakan kitab Musnad kepada anak-anaknya. Dan selama itu saya tidak pernah
menulis satu hadits pun dari beliau, hal ini disebabkan karena saya datang
hanya untuk belajar akhlaq dan adab beliau”. (Siyar A‘lamun Nubala’:11/316)
Berkata Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri -rahimahullah-: “Mereka dulu
tidak mengeluarkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu hingga mereka belajar
adab dan dididik ibadah hingga 20 tahun”. (Hilyatul-Aulia Abu Nuaim 6/361)
Berkatalah Abdullah bin Mubarak -rahimahullah-: “Aku mempelajari
adab 30 tahun dan belajar ilmu 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari adab
terlebih dahulu baru kemudian mempelajari ilmu”. (Ghayatun-Nihayah fi
Thobaqotil Qurro 1/446)
Dan beliau juga berkata: “Hampir-hampir adab menimbangi 2/3 ilmu”.
(Sifatus-shofwah Ibnul-Jauzi 4/120)
Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada Malik bin Anas,
dia berkata bahwa Muhammad bin Sirrin berkata (-rahimahullah-): “Mereka dahulu
mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Hilyah: 17. Jami’ li Akhlaqir-Rawi
wa Adabis-Sami’ 1/49)
Berkata Abullah bin Mubarak: “Berkata kepadaku Makhlad bin Husain
-rahimahullah-: “Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits
walaupun banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
Mengapa demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena
ilmu yang masuk kepada seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat
baginya dan kaum muslimin.
Berkata Abu Zakariya ammad Al-Anbari -rahimahullah-:
“Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab
tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’
1/80)
Ubaidullah cicit Umar bin Khattab (w: 147 H) pernah melihat
sekelompok ahli hadits berkumpul tapi melakukan hal yang menurut Ubaidullah
tidak pada tempatnya.
Ubaidullah berkata:
"kalian merusak wajah ilmu dan menghilangkan cahayanya. andai
umar bin khattab masih hidup, kita akan dipukul olehnya."
Laits bin saad (175 h) seorang ahli ilmu dahsyat, juga pernah
melihat para ahli hadits hal yg kurang berkenan.
Laits berkata:
"Apa ini? kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada
banyaknya ilmu"
dan abu hanifah pun pernah berkata:
"Kisah-kisah tentang ulama lebih aku cintai daripada banyaknya
fikih. karena kisah adalah adabnya suatu kaum dan akhlak mereka."
·
Berwudhu Sebelum Tidur
Al Baro’ bin ‘Azib, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ
وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ
عَلَى شِقِّكَ الأَيْمَنِ
“Jika
kamu mendatangi tempat tidurmu maka wudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu
berbaringlah pada sisi kanan badanmu” (HR. Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)
·
Tidur
berbaring pada sisi kanan.
Hal ini berdasarkan hadits di atas. Adapun manfaatnya sebagaimana
disebutkan oleh Ibnul Qayyim, “Tidur berbaring pada sisi kanan dianjurkan dalam
Islam agar seseorang tidak kesusahan untuk bangun shalat malam. Tidur pada sisi
kanan lebih bermanfaat pada jantung. Sedangkan tidur pada sisi kiri berguna
bagi badan (namun membuat seseorang semakin malas)” (Zaadul Ma’ad, 1/321-322).
·
Meniup
kedua telapak tangan sambil membaca
surat Al Ikhlash (qul huwallahu ahad), surat Al Falaq (qul a’udzu bi robbil
falaq), dan surat An Naas (qul a’udzu bi robbinnaas), masing-masing sekali.
Setelah itu mengusap kedua tangan tersebut ke wajah dan bagian tubuh yang dapat
dijangkau. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali. Inilah yang dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh istrinya ‘Aisyah.
Dari ‘Aisyah, beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ
إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ
فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ
بِرَبِّ الْفَلَقِ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ) ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا
مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا
أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur
di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak
tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash),
’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’
(surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada
anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian
depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no.
5017). Membaca Al Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ini lebih menenangkan hati dan pikiran daripada sekedar
mendengarkan alunan musik.
·
Membaca
ayat kursi sebelum tidur.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
وَكَّلَنِى
رَسُولُ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم –
بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ فَأَتَانِى
آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – .
فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ
الْكُرْسِىِّ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ .
فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – « صَدَقَكَ وَهْوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan aku menjaga
harta zakat Ramadhan kemudian ada orang yang datang mencuri makanan namun aku
merebutnya kembali, lalu aku katakan, “Aku pasti akan mengadukan kamu kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“. Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
menceritakan suatu hadits berkenaan masalah ini. Selanjutnya orang yang datang
kepadanya tadi berkata, “Jika kamu hendak berbaring di atas tempat tidurmu,
bacalah ayat Al Kursi karena dengannya kamu selalu dijaga oleh Allah Ta’ala dan
syetan tidak akan dapat mendekatimu sampai pagi“. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Benar apa yang dikatakannya padahal dia itu pendusta. Dia
itu syetan“. (HR. Bukhari no. 3275)
·
Membaca
do’a sebelum tidur “Bismika allahumma amuutu wa ahyaa”.
Dari Hudzaifah, ia berkata,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – إِذَا
أَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَالَ «
بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا » . وَإِذَا اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَحْيَانَا بَعْدَ
مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ »
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau
mengucapkan: ‘Bismika allahumma amuutu wa ahya (Dengan nama-Mu, Ya Allah aku
mati dan aku hidup).’ Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan:
“Alhamdulillahilladzii ahyaana ba’da maa amatana wailaihi nusyur (Segala puji
bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya
lah tempat kembali).” (HR. Bukhari no. 6324)
·
Sebisa mungkin membiasakan tidur di awal malam
(tidak sering begadang) jika tidak ada kepentingan yang bermanfaat.
Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ
وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum
shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari no. 568)
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin
melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh
berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang
begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang
begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” (Syarh Al
Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah)
2.
ADAB
BANGUN TIDUR
Disaat malam hari telah berakhir ayam berkokok dan fajar telah
menampakkan cahayanya. Santri pun segera bangkit dan terbangun. Sebagaimana
yang dilakukan oleh rasulullah Sallallahu Alayhi wasallam santri kemudian “Mengusap
bekas tidur yang ada pada wajahnya dengan tangan”.
“ Rasulullah bangun tidur, kemudian beliau pun duduk sambil
mengusap bekas tidur yang ada pada wajahnya”. (HR. Muslim No.763, HR. Bukhari
No 6325)
Selanjutnya berdoa:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami kembali
setelah sebelumnya memtikan kami dan hanya kepada-Nyalah kami dikumpulkan di
hari kebangkitan” (Al-Bukhari dalam Fathul Baari XI : 113 dan Muslim
IV:2082)
اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ فِيْ جَسَدِيْ وَرَدَّ عَلَيَّ رُوْحِيْ وَأَذِنَ
لِيْ بِذِكْرِهِ
“Segala puji bagi Allah yang telah mengembalikan ruhku, yang telah
member kesehatan kepadaku, dan telah mengizinkan aku berdzikir kepada-Nya”. (HR. Tirmidzi
no. 3401. Hasan menurut Syaikh Al Albani)
Setelah berdoa, rasa kantuknya pun mulai lenyap. Santri pun segera
ambil wudhu dan bersiwak. Sambil berjalan menuju kamar mandi santri pun
mengingat agar sebelum masuk kamar mandi harus membaca doa yang
diajarkan Rasulullah Sallallahu Alyhi wasallam:
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – إِذَا
دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ «
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban,
beliau ucapkan: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan
setan perempuan” (HR Bukhari:
6322, Muslim: 375.)
·
Masuk ke tempat buang hajat terlebih
dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari tempat tersebut dengan kaki kanan.
Untuk dalam perkara yang baik-baik seperti memakai sandal dan
menyisir, maka kita dituntunkan untuk mendahulukan yang kanan. Sebagaimana
terdapat dalam hadits,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم –
يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى
شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang
kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam
setiap perkara (yang baik-baik).”
·
Tidak menghadap kiblat atau pun
membelakanginya.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ
تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا . قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ
فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى
“Jika kalian
mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya.
Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” .” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu
kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke
arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada
Allah Ta’ala.”
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata,
أَنَّ
رَجُلاً مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ
يَرُدَّ عَلَيْهِ.
“Ada seseorang
yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang
kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak
membalasnya.”
·
Tidak beristinja’ dan menyentuh
kemaluan dengan tangan kanan.
Dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
إِذَا
شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِى الإِنَاءِ وَإِذَا أَتَى الْخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ
ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَلاَ يَتَمَسَّحْ
بِيَمِينِهِ
“Jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah ia bernafas
di dalam bejana. Jika ia buang hajat, janganlah ia memegang kemaluan dengan
tangan kanannya. Janganlah pula ia beristinja’ dengan tangan kanannya.”[27]
·
Beristinja’ bisa dengan menggunakan
air atau menggunakan minimal tiga batu (istijmar)
Beristinja’
dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana menjadi
pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan
Ishaq. Alasannya, dengan air tentu saja lebih bersih.
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah hadits dari Anas
bin Malik, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ
أَجِىءُ أَنَا وَغُلاَمٌ مَعَنَا إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ . يَعْنِى يَسْتَنْجِى بِهِ
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk buang
hajat, aku dan anak sebaya denganku datang membawa seember air, lalu beliau
beristinja’ dengannya.”
·
Mengucapkan do’a “ghufronaka”
setelah keluar kamar mandi.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau
berkata,
أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْغَائِطِ قَالَ « غُفْرَانَكَ ».
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar
kamar mandi beliau ucapkan “ghufronaka” (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu).”
4.
ADAB
BERSIWAK
Siwak
merupakan sunnah yang dapat dikerjakan kapan saja. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sangat menganjurkan untuk bersiwak, beliau bersabda, “Aku sangat
menganjurkan kalian untuk bersiwak.”
( HR Bukhari: 888 dari hadis Anas radiyallahu
‘anhu)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siwak dapat membersihkan mulut dan mendatangkan keridhaan
Rabb.”
HR Ahmad: 7, An Nasa`i: 5, dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha,
dinilai shahih oleh Al Albani (Al Irwa`: 1/105)
Siwak
lebih ditekankan dalam keadaan-keadaan yang telah dijelaskan sebelumnya,
terutama yang berulang dalam satu hari satu malam, seperti ketika akan shalat
malam, berwudhu, setiap kali hendak shalat, saat masuk rumah, wallahu a’lam.
·
Tidak
berlebih lebihan menggunakan air
·
Sholat
2 rakaat setelah berwudhu
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada Bilal setelah shalat Fajar,
“Wahai Bilal, ceritakan
kepadaku amal yang paling engkau harapkan yang engkau amalkan dalam Islam,
sesungguhnya aku mendengar langkah kedua terompahmu di hadapakanku di surga.
” Ia berkata, “Suatu amalan yang paling aku harapkan adalah
tidaklah aku bersuci (berwudhu) baik pada malam atau siang hari melainkan aku
shalat dengannya sesuai yang aku inginkan.”
(HR Bukhari: 1149, Muslim: 2458.)
·
Berdoa
selesai berwudhu
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidaklah salah seorang diantara kalian berwudhu dan
menyempurnakan wudhunya, kemudian mengucapkan, “Asyhadu an laa laaha
illallaahu wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu.” Akan dibukakan
untuknya pintu-pintu surga yang delapan, ia dapat masuk dari pintu mana saja
yang ia kehendaki.”( HR Muslim: 234.)
Atau yang tercantum dalam hadis Abu Sa’id radhiyallahu
‘anhu secara marfu’, “Barangsiapa yang berwudhu, lalu ia selesai dari
wudhunya, kemudian mengucapkan,
“Subhaanakallaahumma
wa bihamdika, asyhadu an laa ilaaha illaa anta, wa astaghfiruka wa atuubu
ilaika.”
Allah
akan menutup diatasnya (bacaan itu) dengan penutup4, kemudian ia diangkat
hingga ke bawah Arsy, dan tidak dibuka hingga hari kiamat.”( HR Nasa’i dalam
‘Amal Yaul wa Lailah, hal. 147, Hakim: 1/752)
·
Pakaian harus menutup semua aurat.
Demikianlah, syariat Islam mendorong pemeluknya untuk senantiasa
mengutamakan rasa malu pada setiap keadaan. Larangan untuk menampakkan aurat
ini bersifat umum, namun ada orang-orang yang dikecualikan dalam larangan ini,
seperti dalam hadist berikut ini :
احفظ
عورتك إلا من زوجتك وما ملكت يمينك
“Jagalah auratmu kecuali kepada istri dan budakmu.”[H.R. Al Baihaqy
dalam syu’abul iman dengan sanad hasan]
·
Mengenakan pakaian mulai dari kanan,
melepasnya mulai dari kiri dan berdo'alah. Rasulullah saw bersabda:
ومن
لبس ثوبا فقال الحمد لله الذي كساني هذا الثوب ورزقنيه من غير حول مني ولا قوة غفر
له ما تقدم من ذنبه
“….dan barang
siapa yang memakai pakaian seraya mengucap : segala puji bagi Allah yang telah
memberiku pakaian dan memberikan rizki kepadaku dengannya tanpa ada daya dan
upaya dariku, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[H.R. Ibnu
Majah,hadist ini dihasankan oleh Al Albani dalam shahih sunan Abi Dawud dari
sahabat Anas dari ayahnya].
·
Wanita tidak memakai pakaian kaum
laki–laki dan sebaliknya, tidak boleh pula bagi kaum laki-laki untuk memakai
pakaian perempuan, sebab rasulullah telah bersabda
رواه البخاري وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه والطبراني وعنده
أن امرأة مرت على رسول الله صلى الله عليه وسلم متقلدة قوسا فقال لعن الله
المتشبهات من النساء بالرجال والمتشبهين من الرجال بالنساء
“Allah melaknat para wanita yang meniru laki-laki dan laki-laki
yang meniru perempuan”[H.R. Al Bukharidan Abu Dawud].
·
Tidak memakai pakaian sombong (Syuhrah)
Pakaian kesombongan (syuhrah) adalah pakaian yang dipakai oleh
pemakainya untuk menyombongkan diri di antara orang banyak, dan apa yang
dipersamakan dengan pakaian yang dipakai oleh pemakainya untuk menyombongkan
diri, pakaian yang demikian diharamkan, karena alasan-alasan berikut:
Hadits dari Ibnu 'Umar, sabda Rasulullah saw.
مَنْ
لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارً
Artinya: "Barangsiapa memakai pakaian
kesombongan di dunia, maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan
pada hari Kiamat."
7.
ADAB
BERSISIR
·
Memulai menyisir rambut dari sisi kanan
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى
تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai mendahulukan yang kanan ketika
memakai sendal, ketika menyisir rambut dan ketika bersuci, juga dalam setiap
perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari no. 186 dan Muslim no. 268).
8. ADAB MEMAKAI WEWANGIAN
Memakai wewangian termasuk berhias, disunnahkan
ketika hendak berangkat ke masjid. Firman Allah, “Wahai anak cucu Adam, pakailah perhiasanmu
(pakaianmu) yang bagus pada setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raf
[7]: 31).
عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَطَيَّبُ قَالَتْ نَعَمْ بِذِكَارَةِ الطِّيبِ
الْمِسْكِ وَالْعَنْبَرِ
Dari Muhammad bin Ali ia berkata, “Aku pernah
bertanya kepada ‘Aisyah, ‘Apakah Rasulullah SAW memakai parfum? ia menjawab,
“Ya! dengan minyak wangi misk dan ‘anbar.” (HR An-Nasa’i)
Hadis
Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa sallam bersabda,
“Diberikan rasa cinta kepada dari dunia
wanita dan parfum, dan dijadikan kesenanganku dalam shalat.” HR Ahmad: 12293.
9.
ADAB
MENDENGARKAN ADZAN
·
Mengucapkan seperti apa yang
diucapkan oleh muadzin, bershalawat dan berdoa.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا
سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ
فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ
تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ
لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Jika kalian
mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzin.
Kemudian bershalawatlah untukku. Karena siapa yang bershalawat kepadaku sekali,
maka Allah akan bershalawat padanya (memberi ampunan padanya) sebanyak sepuluh
kali. Kemudian mintalah wasilah pada Allah untukku. Karena wasilah itu adalah
tempat di surga yang hanya diperuntukkan bagi hamba Allah, aku berharap akulah
yang mendapatkannya. Siapa yang meminta untukku wasilah seperti itu, dialah
yang berhak mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim no. 384).
Adapun meminta wasilah pada Allah untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam disebutkan dalam hadits dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ
وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ
وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa
mengucapkan setelah mendengar adzan ‘allahumma robba hadzihid da’watit taammah
wash sholatil qoo-imah, aati Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab’atshu
maqoomam mahmuuda alladzi wa ‘adtah’ [Ya Allah, Rabb pemilik dakwah yang
sempurna ini (dakwah tauhid), shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada
Muhammad wasilah (kedudukan yang tinggi), dan fadilah (kedudukan lain yang
mulia). Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqom (kedudukan)
terpuji yang telah Engkau janjikan padanya], maka dia akan mendapatkan
syafa’atku kelak.” (HR.Bukhari no. 614 )
·
Ada juga amalan sesudah mendengarkan
azan jika diamalkan akan mendapatkan ampunan dari dosa.
Dari Sa’ad bin
Abi Waqqash, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَو:
أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً
وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ
“Siapa yang
mengucapkan setelah mendengar azan: Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa
syarika lah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh, radhitu billahi robbaa wa bi
muhammadin rosulaa wa bil islami diinaa (artinya: aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu baginya, dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, aku ridha sebagai Rabbku,
Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agamaku), maka dosanya akan diampuni.”
(HR. Muslim no. 386)
Dari ‘Abdullah
bin ‘Amr bahwa seseorang pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
muadzin selalu mengungguli
kami dalam pahala amalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قُلْ
كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ
“Ucapkanlah
sebagaimana disebutkan oleh muadzin. Lalu jika sudah selesai kumandang azan,
berdoalah, maka akan diijabahi (dikabulkan).” (HR. Abu Daud no. 524 dan Ahmad
2: 172. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Artinya, doa
sesudah azan termasuk di antara doa yang diijabahi. ” (Jalaa-ul Afham, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah hal. 333).
·
Bersegera Menuju Rumah Allah Ta’ala
Bersegera menuju
masjid merupakan salah satu ciri dari semangat seorang muslim untuk melakukan
ibadah. Jika waktu shalat telah tiba, hendaklah kita bersegera menuju masjid
karena di dalamnya terdapat ganjaran yang amat besar, berdasarkan hadis:
Dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda, “Seandainya manusia mengetahui keutamaan shaf pertama, dan tidaklah
mereka bisa mendapatinya kecuali dengan berundi niscaya mereka akan berundi.
Dan seandainya mereka mengetahui keutamaan bersegera menuju masjid niscaya
mereka akan berlomba-lomba”
Jangan sampai kita
menyepelekan dan menunda-nunda waktu untuk sesegera mungkin menuju masjid.
Hendaknya selalu bersemangat dalam menghidupkan masjid dan mengisinya dengan
amalan-amalan ibadah lainnya.
·
Berwudhu di rumah sebelum berangkat
ke Masjid
Hadis
dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وما من رجل يتطهر فيحسن الطهور ثم يعمد إلى مسجد
من هذه المساجد إلا كتب الله له بكل خطوة يخطوها حسنة, ويرفعه بها درجة, ويحطّ عنه
بها سيئة
"Jika seseorang wudhu
dengan sempurna, kemudian menuju masjid maka Allah akan mencatat setiap
langkahnya sebagai pahala untuknya, mengangkat derajatnya, dan menghapuskan dosanya". (HR. Muslim)
Hadis dari Utsman bin Affan radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من
توضأ للصلاة فأسبغ الوضوء ثم مشى إلى الصلاة المكتوبة فصلاها مع الناس, أو مع
الجماعة, أو في
المسجد غفر الله له ذنوبه
"Siapa yang berwudhu untuk shalat dan dia sempurnakan wudhunya,
kemudian dia menuju masjid untuk shalat fardhu. Lalu dia ikut shalat berjamaah
atau shalat di masjid maka Allah mengampuni dosa-dosanya". (HR. Muslim)
·
Gunakan pakaian yang sopan, nan suci
Allah berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ
كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
“Wahai bani Adam, gunakanlah
perhiasan kalian setiap kali menuju masjid, makan dan minumlah kalian”. (QS.
Al-A’raf: 31)
Sebagai orang yang
beriman, seharusnya kita merasa malu ketika mengenakan kaos atau pakaian tidak
sopan ketika menuju masjid. Sementara kita sadar bahwa kita hendak menghadap
Allah.
·
Bacalah doa ketika keluar rumah
Di antara doa
yang disyariatkan adalah
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ , لَا
حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Dengan nama
Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan
Allah.
Membaca doa ini ketika keluar rumah
memiliki keutamaan besar, sebagaimana disebutkan dalam hadis Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila ada orang yang keluar dari
rumahnya, kemudian dia membaca doa di atas, dikatakan kepadanya:
هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ
‘Kamu diberi petunjuk, kamu dicukupi, dan kamu dilindungi‘
Maka setan-setanpun berteriak. Kemudian ada salah satu setan yang
berkata kepada lainnya: “Bagaimana mungkin kalian bisa menggoda orang yang
sudah diberi petunjuk, dicukupi, dan dilindungi.” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan
dishahihkan Al-Albani)
·
Gunakanlah sandal atau alas kaki
lainnya dengan mendahulukan kaki kanan
Dari A’isyah
radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ
وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
suka mendahulukan yang kanan, ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci,
dan yang lainnya.” (HR. Bukhari, Ahmad dan yang lainnya)
·
Berjalan
dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
Bagi seseorang
yang hendak menuju shalat berjamaah hendaknya dia berjalan dengan tenang dan
tidak tergesa-gesa. Dikarenakan seseorang yang hendak menuju shalat dituntut
agar melaksanakannya dengan adab yang mulia dan dalam keadaan yang sempurna.
Dahulu ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat
pernah mendengar suara gaduh langkah orang yang tergesa-gesa karena terlambat.
Kemudian setelah shalat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya
agar tetap berjalan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa walaupun terlambat.
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam
Muslim dan selain keduanya dari sahabat Abu Qatadah radhiyallaahu ‘anhu:
بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ سَمِعَ جَلَبَةَ رِجَالٍ فَلَمَّا صَلَّى
قَالَ مَا شَأْنُكُمْ قَالُوا اسْتَعْجَلْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ فَلَا
تَفْعَلُوا إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ فَمَا
أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Ketika kami sedang melaksanakan shalat bersama
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba beliau mendengar suara langkah
kaki beberapa shahabat. Ketika telah selesai shalat beliau bersabda, “Ada apa
dengan kalian?” Mereka menjawab, “Kami tergesa-gesa menuju shalat,” beliau
bersabda, “Jangan kalian lakukan hal itu, jika kalian mendatangi shalat
hendaklah berjalan dengan tenang, apa saja yang kalian dapatkan dari shalat
kerjakanlah (bersama imam) dan apa saja yang tertinggal maka sempurnakanlah.”
Di dalam hadits yang lain dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan tambahan:
وَعَلَيْكُمْ
بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ
“Hendaklah kalian berjalan dengan sakinah dan
waqar.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata,
“Secara lahir nampak bahwa di antara keduanya ada perbedaan. As-sakinah itu
adalah tenang dalam gerakan dan meninggalkan perkara yang sia-sia. Al-waqar
adalah berkaitan dengan keadaannya seperti menjaga pandangan, merendahkan
suara, dan tidak banyak menoleh.” (Lihat Fathul Bari pada hadits no 632)
·
Berjalanlah menuju masjid dengan
tenang
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا سمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة وعليكم
السكينة والوقار ولا تُسرعوا
“Apabila kalian
mendengar iqamah, berjalanlah menuju shalat dan kalian harus tenang, dan jangan
buru-buru…” (HR. Bukhari & Muslim)
Di samping itu,
dengan berjalan tenang, kita akan mendapatkan banyak pahala. Karena setiap
langkah kaki kita dicatat sebagai pahala dan menghapus dosa. Di antara hikmah
larangan terburu-buru ketika shalat, agar kita tidak ngos-ngosan ketika
melaksanakan shalat. Nafas tersengal-sengal ketika shalat, bisa menyebabkan
shalat kita menjadi sangat terganggu.
·
Tidak Menjalin Jari Tangan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ
الْأَنْبَارِيُّ أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَهُمْ عَنْ دَاوُدَ
بْنِ قَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي سَعْدُ بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي
أَبُو ثُمَامَةَ الْحَنَّاطُ أَنَّ كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ أَدْرَكَهُ وَهُوَ يُرِيدُ
الْمَسْجِدَ أَدْرَكَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ قَالَ فَوَجَدَنِي وَأَنَا مُشَبِّكٌ
بِيَدَيَّ فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
إِذَا
تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى
الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ
"Apabila salah
seorang di antara kalian berwudlu, lalu dia membaguskan wudlunya, kemudian
pergi dgn sengaja ke masjid, maka janganlah dia menjalin kedua tangannya,
karena perbuatan itu dianggap himpunan ibadah shalat. (HR. Abu Daud No.475)
·
Membaca doa ketika menuju masjid.
“Bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (apabila) pergi menuju masjid beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam senantiasa mengucapkan do’a:
اللَّهُمَّ
اجْعَلْ فِي قَلْبِيْ نُوْراً وَفِي لِسَانيِ نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي
نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُوْرًا وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِيْ نُوْرًا وَمِنْ
أَمَامِي نُوْرًا وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُوْرًا وَمِنْ تَحْتِي نُوْرًا
اللَّهُمَّ أَعْطِنِي نُوْرًا.
‘Ya Allah, jadikanlah cahaya di hatiku, cahaya di lidahku, cahaya
di pendengaranku, cahaya di mataku, cahaya dari belakangku, cahaya dari mukaku,
cahaya dari atasku dan cahaya dari bawahku. Ya Allah berikanlah aku cahaya.’”
[HR. Al-Bukhari no. 6316 dan Muslim no. 763 (191)]
·
Sesampainya di masjid, lepas sandal
dengan mendahulukan kaki kiri.
Sunah ini dinyatakan dalam hadis
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ
بِالْيُمْنَى وَإِذَا خَلَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالْيُسْرَى
“Apabila kalian memakai sandal,
mulailah dengan kaki kanan, dan jika melepas, mulailah dengan kaki kiri.” (HR.
Ibnu Majah dan dishahihkan Al-Albani)
Agar Anda tetap bisa masuk masjid
dengan kaki kanan, setelah melepas sandal, kaki jangan langsung diinjakkan ke
lantai masjid, tapi diinjakkan dulu ke tanah atau ke sandal kiri yang sudah
dilepas. Kemudian naiklah ke lantai masjid dengan kaki kanan.
·
Masuk masjid dengan mendahulukan
kaki kanan
Dari A’isyah
radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ
وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan, ketika memakai
sandal, menyisir rambut, bersuci, dan yang lainnya.” (HR. Bukhari, Ahmad dan
yang lainnya)
Para ulama
mengatakan, semua kegiatan yang baik, dianjurkan mendahulukan bagian tubuh yang
kanan. Termasuk dalam hal ini adalah mendahulukan kaki kanan ketika masuk
masjid.
Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, mengatakan,
من السنة إذا دخلت المسجد أن تبدأ برجلك اليمنى
وإذا خرجت أن تبدأ برجلك اليسرى
“Termasuk ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ketika anda masuk masjid, anda mendahulukan kaki kanan dan ketika keluar anda mendahulukan kaki kiri.”
(HR. Hakim, beliau shahihkan dan disetujui Ad-Dzahabi)
·
Berdoalah ketika masuk masjid
Ada banyak doa yang diajarkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sekali lagi, sikap yang tepat adalah
diamalkan semuanya. Berikut beberapa doa ketika masuk masjid,:
بِسْمِ
اللهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ
“Bismillah, shalawat dan salam untuk
Rasulillah.” (HR. Ibnu Sunni, Abu Daud, dan dishahihkan Al-Albani)
اللَّهُمَّ
افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Ya
Allah, buka-kanlah pintu rahmatmu untukku.” (HR. Muslim)
أَعُوذُ
بِاللَّهِ الْعَظِيمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Aku berlindung kepada Allah yang
Maha Agung, dengan wajah-Nya yang Mulia, dengan kekuasan-Nya yang langgeng,
dari godaan setan yang terkutuk.”
Untuk doa terakhir
ini, terdapat keutamaan khusus: Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu
‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, beliau
membaca doa di atas. Kemudian beliau bersabda,
فَإِذَا
قَالَ: ذَلِكَ قَالَ الشَّيْطَانُ: حُفِظَ مِنِّي سَائِرَ الْيَوْمِ
“Jika
orang membaca doa ini, maka setan berteriak, ‘Orang ini dilindungi dariku
sepanjang hari.'” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani)
11.
ADAB DI DALAM MASJID
·
Shalat tahiyatul masjid, jika masih
memungkinkan
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berpesan,
فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلَا
يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ
“Apabila kalian masuk masjid, jangan
duduk, sampai shalat dua rakaat.” (HR. Muslim) Itulah shalat tahiyatul masjid.
·
Mendekati sutrah
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى
سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Apabila kalian hendak shalat,
laksanakanlah dengan menghadap ke sutrah, dan mendekatlah ke sutrah.“ Sutrah
bisa berupa tembok, tiang, atau benda-benda lainnya”.
·
Menghindari Makanan Tidak Sedap
Baunya
Maksudnya adalah larangan bagi
seseorang yang makan makanan yang tidak sedap baunya, seperti mengonsumsi
makanan yang menyebabkan mulut berbau, seperti bawang putih, bawang merah,
jengkol, pete, dan termasuk juga merokok atau yang lainnya untuk menghadiri
shalat jamaah, berdasarkan hadis,
Dari Jabir radhiallahu’anhu
bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ
أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ (يَعْنِيْ الثَّوْمَ) فَلاَ يَقْرَبَنَّ
مَسْجِدَنَا.
“Barangsiapa
yang memakan buah pohon ini (yakni bawang putih) maka janganlah sekali-kali ia
mendekati masjid kami.” [HR. Al-Bukhari no. 853 dan Muslim no. 561 (68)]
Hadis
tersebut bisa dibawa ke persamaan kepada segala sesuatu yang berbau tidak sedap
yang bisa menganggu orang yang sedang shalat atau yang sedang beribadah
lainnya. Namun jika seseorang sebelum ke masjid memakai sesuatu yang bisa
mencegah bau yang tidak sedap tersebut dari dirinya seperti memakai pasta gigi
dan lainnya, maka tidak ada larangan baginya setelah itu untuk menghadiri
masjid.
·
Adab Bagi Wanita
Tidak terlarang bagi seorang wanita
untuk pergi ke masjid. Namun rumah-rumah mereka lebih baik Jika seorang wanita
hendak pergi ke masjid, ada beberapa adab khusus yang perlu diperhatikan:
Meminta izin kepada suami atau
mahramnya, Tidak menimbulkan fitnah, Menutup aurat secara lengkap, Tidak
berhias dan memakai parfum, Perbuatan kaum wanita yang memakai parfum hingga
tercium baunya dapat menimbulkan fitnah, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam, “Siapa saja wanita yang memakai wangi-wangian
kemudian keluiar menuju masjid, maka tidak akan diterima shalatnya sehingga ia
mandi” HR.Ibnu Majah no 4002 dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam shahih
Ibni Majah no. 3233
Abu Musa radhiallahu’anhu
meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا
اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِىَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِى زَانِيَةً
“Setiap mata
berzina dan seorang wanita jika memakai minyak wangi lalu lewat di sebuah
majelis (perkumpulan), maka dia adalah wanita yang begini, begini, yaitu
seorang wanita pezina” HR. Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam
kitab Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 2019
·
Mengagungkan Masjid
Bentuk pengagungan terhadap masjid
berupa hendaknya seseorang tidak bersuara dengan suara yang tinggi,
bermain-main, duduk dengan tidak sopan, atau meremehkan masjid. Hendaknya juga
ia tidak duduk kecuali sudah dalam keadaan berwudhu untuk mengagungkan rumah
Allah Ta’ala dan syariat-syariat-Nya. Allah Ta’ala berfirman:“Demikianlah
(perintah Allah). dan Barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, Maka
Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” . S. Al-Hajj 32
·
Menunggu Ditegakkannya Shalat Dengan
Berdoa Dan Berdzikir
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata, “Setelah shalat dua rakaat hendaknya orang yang shalat untuk duduk
menghadap kiblat dengan menyibukkan diri berdzikir kepada Allah, berdoa,
membaca Alquran, atau diam dan janganlah ia membicarakan masalah duniawi
belaka”. AI-Mughni karangan Ibnu Qudamah رحمه االه jilid 2 halaman 119
Terdapat keutamaan yang besar bagi
seorang yang duduk di masjid untuk menunggu shalat, berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فيِ
الصَّلاَةِ مَاكَانَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ واْلمَلاَئِكَةُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ
أَحَدِكُمْ مَادَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلىَّ فِيْهِ يَقُوْلُوْنَ:
اَللّهُمَّ ارْحَمْهُ الّلهُمَّ اغْفِرْ لَهُ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيْهِ مَا لَمْ
يُحْدِثْ
“Apabila
seseorang memasuki masjid, maka dia dihitung berada dalam shalat selama shalat
tersebut yang menahannya (di dalam masjid), dan para malaikat berdoa kepada salah seorang di
antara kalian selama dia berada pada tempat shalatnya, Mereka mengatakan, “Ya
Allah, curahkanlah rahmat kepadanya, ya Allah ampunilah dirinya selama dia
tidak menyakiti orang lain dan tidak berhadats”[17]. HR Bukhari no
176 Muslim no 649
·
Anjuran Untuk Berpindah Tempat
Ketika Merasa Ngantuk
Sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam, “Jika salah seorang di antara kalian mengantuk,
saat berada di masjid, maka hendaknya ia berpindah dari tempat duduknya ke
tempat lain
( HR Abu Dawud
no 1119 dari Ibnu ‘Umar dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abi
Dawud no.990)
·
Menjaga dari Ucapan yang Jorok dan
Tidak Layak di Masjid
Tempat yang suci tentu tidak pantas
kecuali untuk ucapan-ucapan yang suci dan terpuji pula. Oleh karena itu, tidak
boleh bertengkar, berteriak-teriak, melantunkan syair yang tidak baik di
masjid, dan yang semisalnya. Demikian pula dilarang berjual beli di dalam
masjid dan mengumumkan barang yang hilang. Nabi bersabda (yang artinya), “Apabila kamu melihat orang menjual atau
membeli di masjid maka katakanlah, ‘Semoga Allah tidak memberi keberuntungan
dalam jual belimu!’ Dan apabila kamu melihat ada orang yang mengeraskan suara
di dalam masjid untuk mencari barang yang hilang, katakanlah, ‘Semoga Allah tidak mengembalikannya
kepadamu’. ( Shahih Sunan at-Tirmidzi jilid 2 halaman 63—64 no1321)
Dilarang bermain-main di masjid
selain permainan yang mengandung bentuk melatih ketangkasan dalam perang. Hal
ini sebagaimana dahulu orang-orang Habasyah bermain perang-perangan di masjid
dan tidak dilarang oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
·
Tidak Menjadikan Masjid Sebagai
Tempat Lalu Lalang
Tidak sepatutnya seorang muslim
berlalu di dalam masjid untuk suatu kepentingan tanpa mengerjakan shalat dua rakaat.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, ”Di antara tanda-tanda hari
Kiamat adalah seorang melewati masjid namun tidak mengerjakan shalat dua rakaat
di dalamnya dan seseorang tidak memberikan salam kecuali kepada orang yang
dikenalnya)” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Kaabir jilid IX halaman 9489 dari
IbnuMas’ud dan dinilai shahih oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami,
no.5896.)
·
Larangan Keluar Setelah Adzan
Kecuali Ada Alasan
Jika kita berada di dalam masjid dan
azan sudah dikumandangkan, maka tidak boleh keluar dari masjid sampai selesai
dtunaikannya shalat wajib, kecuali jika ada uzur. Hal ini sebagaimana
dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Abu as Sya’tsaa radhiallahu’anhu, beliau
berkata,
كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ
فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ
أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَبُو
هُرَيْرَةَ أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
“Kami pernah
duduk bersama Abu Hurairah dalam sebuah masjid. Kemudian muazin mengumandangkan
azan. Lalu ada seorang laki-laki yang berdiri kemudian keluar masjid. Abu
Hurairah melihat hal tersebut kemudian beliau berkata, “Perbuatan orang
tersebut termasuk bermaksiat terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu’alaihi
Wasallam”. HR. Muslim no 655 dan dinilai shahih oleh Syeikh al-Albani dalam
kitab shahih Ibni Maajah no599.
·
Larangan Mencari Barang Yang Hilang
Di Masjid Dan Mengumumkannya
Apabila didapati seseorang
mengumumkan kehilangan di masjid, maka katakanlah, “Mudah-mudahan Allah tidak
mengembalikannya kepadamu”. Sebagaimana sabda Rasululllah
Shallallahu’alaihi Wasallam, “Barangsiapa mendengar seseorang mengumumkan
barang yang hilang di dalam masjid, maka katakanlah, “Mudah-mudahan Allah tidak
mengembalikannya kepadamu. Sesungguhnya masjid-masjid tidak dibangun untuk ini”.
HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dan dinilai shahih oleh
Syeikh Al-Albani dalam at-Ta’liqot al-Hisan ‘ala Shahih Ibni Hibban, no.1649
·
Larangan Jual Beli di Masjid
Jika jual beli dilakukan di masjid,
maka niscaya fungsi masjid akan berubah menjadi pasar dan tempat jual beli
sehingga jatuhlah kehormatan masjid dengan sebab itu.
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwasanya Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “apabila kalian melihat orang yang
jual beli di dalam masjid maka katakanlah padanya, ‘Semoga Allah tidak memberi
keuntungan dalam jual belimu!”
(HR Tirmidzi no
1321, Hakim jilid 2 halaman 56, dan beliau berkata: Shahih menurut syarat Imam
Muslim dan disetujuhi oleh Imam Adz-Zahabi Dan Syeikh Al-Albani menilai shahih
dalam Al-Irwa 1295)
Imam As-Shan’ani berkata, “Hadis ini
menunjukkan haramnya jual beli di dalam masjid, dan wajib bagi orang yang
melihatnya untuk berkata kepada penjual dan pembeli semoga Allah tidak memberi
keuntungan dalam jual belimu! Sebagai peringatan kepadanya”.
(Subulus Salam
jilid 1 halaman 321 Lihat pula An-Nail al-Author jilid 1 halaman 455 dan
Ats-Tsamar al-Mustathob jliid 2 halaman 696)
·
Larangan Mengganggu Orang Yang
Beribadah Di Masjid
Orang yang sedang menjalankan ibadah
di dalam masjid membutuhkan ketenangan sehingga dilarang mengganggu kekhusyukan
mereka, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Di antara kesalahan yang sering
terjadi, membaca ayat secara nyaring di masjid sehingga mengganggu shalat dan
bacaan orang lain .
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada
Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian
mengeraskan suara dalam membaca Alquran. Atau beliau berkata, “Dalam
shalat” [50]. HR Abu Daud no 1332 dan Ahmad no 430 dan dinilai shahih oleh
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Nata-ijul Afkar jilid 2 halaman 16
·
Larangan Melewati depan orang yand
Sedang Sholat
Sebab,
masjid dibangun bukan untuk ini. Demikian pula mengganggu dengan obrolan yang
keras. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah bahwa
setiap kalian sedang bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabbnya. Maka dari itu,
janganlah sebagian kalian menyakiti yang lain dan janganlah mengeraskan bacaan
atas yang lain”[51]. HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim dan dinilai shahih
oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihal-Jami’
Tidak
meninggikan suara (bersuara keras) di dalam masjid, berdasarkan perkataan ‘Umar
Radhiyallahu anhu :
لَوْ
كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ َلأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُماَ
فِي مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Sekiranya kalian berdua berasal dari kota ini (yakni Madinah),
niscaya akan kupukul kalian berdua karena telah berani meninggikan suara
(bersuara keras) di dalam masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
[HR. Al-Bukhari no. 470]
Apabila mengeraskan bacaan A-lquran
saja dilarang jika memang mengganggu orang lain yang sedang melakukan ibadah,
lantas bagaimana kiranya jika mengganggu dengan suara-suara gaduh yang tidak
bermanfaat?! Sungguh, di antara fenomena yang menyedihkan, sebagian
orang—terutama anak-anak muda—tidak merasa salah membuat kegaduhan di masjid
saat shalat berjamaah sedang berlangsung. Mereka asyik dengan obrolan yang
tiada manfaatnya. Terkadang mereka sengaja menunggu imam rukuk, lalu lari
tergopoh-gopoh dengan suara gaduh untuk mendapatkan rukuk bersama imam. Untuk
yang seperti ini kita masih meragukan sahnya rakaat shalat tersebut karena
mereka tidak membaca Al-Fatihah dalam keadaan sebenarnya mereka mampu.
Tetapi, mereka meninggalkannya dan
justru mengganggu saudara-saudaranya yang sedang shalat. Hal ini berbeda dengan
kondisi sahabat Abu Bakrah radhiallahu’anhu yang ketika datang untuk shalat
bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didapatkannya beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam sedang rukuk lalu ia ikut rukuk bersamanya dan itu dianggap
rakaat shalat yang sah.
·
Larangan Lewat di Dalam Masjid
Dengan Membawa Senjata Tajam
Janganlah seseorang lewat masjid
dengan membawa senjata tajam, seperti pisau, pedang, dan sebagainya ketika
melewati masjid. Sebab hal itu dapat mengganggu seorang muslim bahkan bisa
melukai seorang muslim. Terkecuali jika ia menutup mata pedang dengan tangannya
atau dengan sesuatu.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian lewat di dalam
masjid atau pasar kami dengan membawa lembing, maka hendaklah ia memegang mata
lembing itu dengan tangannya sehingga ia tidak melukai orang muslim”[52]. HR
Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa radhiallahu’anhu dan dinilai shahih oleh
Syeikh Al-Albani dalam shahih wa dho’if al-jami ashshoghir no.798
·
Larangan Lewat di Depan Orang Shalat
Harap diperhatikan ketika kita
berjalan di dalam masjid, jangan sampai melewati di depan orang yang sedang
shalat. Hendaklah orang yang lewat di depan orang yang shalat takut akan dosa
yang diperbuatnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَي
الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ
أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya
orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui (dosa) yang
ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40 (tahun), itu lebih
baik baginya daripada lewat di depan orang yang sedang shalat”[ HR Bukhari
no 510 dan Muslim no1132].
Yang terlarang adalah lewat di depan
orang yang shalat sendirian atau di depan imam. Adapun jika lewat di depan
makmum maka tidak mengapa. Hal ini didasari oleh perbuatan Ibnu Abbas
radhiallahu’anhu ketika beliau menginjak usia balig. Beliau pernah lewat di
sela-sela shaf jamaah yang diimami oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam dengan menunggangi keledai betina, lalu turun melepaskan
keledainya baru kemudian beliau bergabung dalam shaf. Dan tidak ada seorang
pun yang mengingkari perbuatan tersebut. Namun demikian, sebaiknya memilih
jalan lain agar tidak lewat di depan shaf makmum[] HR Bukhari no 76 dan Muslim
no504
·
Larangan melingkar di dalam masjid
untuk berkumpul untuk kepentingan dunia
Terdapat larangan melingkar di dalam
masjid (untuk berkumpul) demi kepentingan dunia semata. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
يَأْتِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَحْلِقُوْنَ فيِ
مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هُمُوْمُهُمْ إِلاَّ الدُّنْيَا وَلَيْسَ ِللهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ فَلاَ
تُجَاِلسُوْهُمْ
“Akan datang
suatu masa kepada sekelompok orang, di mana mereka melingkar di dalam masjid
untuk berkumpul dan mereka tidak mempunyai kepentingan kecuali dunia dan tidak
ada bagi kepentingan apapun pada mereka maka janganlah duduk bersama mereka”
[55]. HR
al-Hakim jilid 4 halaman 359 dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani
·
Larangan Keras Meludah Di Masjid
Masjid sebagai tempat yang paling
dicintai oleh Allah Ta’ala di muka bumi ini harus kita jaga kebersihannya. Oleh
karena itu, dilarang meludah dan mengeluarkan dahak lalu membuangnya di dalam
masjid, kecuali meludah di sapu tangan atau pakaiannya. Adapun di lantai masjid
atau temboknya, hal ini dilarang. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا
دَفْنُهَا
“Meludah di
masjid adalah suatu dosa, dan kafarat (untuk diampuninya) adalah dengan
menimbun ludah tersebut”[56]. Shahih al-Bukhari no40
Yang
dimaksud menimbun ludah di sini adalah apabila lantai masjid itu dari tanah,
pasir, atau semisalnya. Adapun jika lantai masjid itu berupa semen atau kapur,
maka ia meludah di kainnya, tangannya, atau yang lain [Lihat kitab Riyadhus
Shalihin dalam bab “an-Nahyu ‘anil Bushaqfil Masjid”
Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda, “Janganlah salah seorang di
antara kalian meludah ke arah kiblat, akan tetapi hendaknyaa ke arah kirinya
atau ke bawah kakinya”[58].
Referensi
Dalam masalah makan perlu diperhatikan adab-adabnya. Makan memiliki
adab-adab yang banyak dan telah dikenal, maka dalam pembahasan ini saya akan
meringkaskan adab-adab makan sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita yang diiringi dengan keberkahan,
yaitu:
1. Adab Sebelum
Makan
·
Hendaknya berusaha (memilih untuk)
mendapatkan makanan dan minuman yang halal dan baik serta tidak mengandung
unsur-unsur yang haram, berdasarkan firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu...”
[Al-Baqarah/2: 172]
·
Berkumpul Apabila Makan
Dari Wahsyi bin
Harb Radhiyallahu anhu, bahwasanya para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya
kita makan tapi tidak kenyang.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Mungkin kalian makan dengan tidak berkumpul?” Mereka berkata: “Ya.” Beliau
bersabda:
"فَاجْتَمِعُوْا
عَلَى طَعَامِكُمْ فَاذْكُرُوْا اسْمَ اللهَ عَلَيْهِ! يُبَارَكْ لَكُمْ فِ يْهِ."
“Berkumpullah
kalian ketika makan dan sebutlah Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya, maka
makanan kalian akan diberkahi.” . Diriwayatkan oleh Abu
Dawud dalam Sunannya (IV/138) Kitaabul Ath’imah bab Fii Ijtimaa’ ‘alath
Tha’aam, Ibnu Majah dalam Sunannya (II/1093) Kitaabul Ath’imah bab al-Ijtimaa’
‘alath Tha’aam, Imam Ahmad dalam Musnadnya (III/501), Ibnu Hibban dalam
Shahihnya (VII/317) Kitaabul Ath’imah, Dzikrul Amri ‘alal Ijtimaa’ ‘alath
Tha’aam, Rajaa-al Barakah fil Ijtimaa’ ‘Alaih
Hendaknya makan bersama-sama dengan
orang lain, baik tamu, keluarga, kerabat, anak-anak atau pembantu. Sebagaimana
hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اِجْتَمِعُوْا
عَلَى طَعاَمِكُمْ يُبَارِكْ لَكُمْ فِيْهِ.
“Berkumpullah kalian dalam menyantap
makanan kalian (bersama-sama), (karena) di dalam makan bersama itu akan
memberikan berkah kepada kalian.” [HR. Abu Dawud no. 3764, hasan. Lihat
Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 664]
Dan di antara
yang menunjukkan atas keberkahan dari berkumpul saat makan, adalah apa yang
diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
"طَعَامُ
اْلإِثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاَثَةَ وَطَعَامُ الثَّلاَثَةَ كَافِي اْلأَرْبَعَةَ."
‘Makanan dua
orang cukup untuk tiga dan makanan untuk tiga orang mencukupi untuk empat
orang.’”
Dalam riwayat
lain dari Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu:
"طَعَامُ
الْوَاحِدِ يَكْفِي اْلإِثْنَيْنِ وَالطَّعَامُ اْلإِثْنَيْنِ يَكْفِي
اْلأَرْبَعَةَ وَالطَّعَامُ اْلأَرْبَعَةَ يَكْفِي الثَّمَانِيَةَ."
“Makanan satu
orang mencukupi dua orang, makanan dua orang mencukupi empat orang dan makanan
empat orang mencukupi delapan orang.” Shahih Muslim (III/1630) pada kitab dan
bab yang lalu.
Imam
an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat sebuah anjuran agar saling
berbagi dalam makanan, sesungguhnya walaupun makanan itu sedikit tetapi akan
terasa cukup, dan ada keberkahan di dalamnya yang diterima oleh seluruh yang
hadir.” Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XIV/23).
Ibnu
Hajar berkata, “Dari hadits tersebut kita dapat mengambil faedah, bahwasanya
kecukupan itu hadir dari keberkahan berkumpul saat makan dan bahwasanya semakin
banyak anggota yang berkumpul, maka akan semakin bertambah berkahnya.” Fat-hul
Baari (IX/535), dengan sedikit perubahan.
Dengan demikian beberapa ulama berpendapat, bahwa berkumpul saat
makan adalah mustahab (disunnahkan) dan janganlah seseorang makan seorang diri.
Ibid, (IX/535).
·
Meniatkan tujuan dalam makan dan
minum untuk menguatkan badan, agar dapat melakukan ibadah, sehingga dengan makan minumnya
tersebut ia akan diberikan ganjaran oleh Allah.
·
Mencuci kedua tangan sebelum makan, jika dalam
keadaan kotor atau ketika belum yakin dengan kebersihan keduanya. Dalilnya
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَانَ
إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَإِذَا َأرَادَ أَنْ
يَأْكُلَ غَسَلَ يَدَيْهِ
“Apabila Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak tidur sedangkan beliau dalam keadaan junub, maka
beliau berwudhu’ terlebih dahulu dan apabila hendak makan, maka beliau mencuci
kedua tangannya terlebih dahulu.” [HR. An-Nasa-i I/50, Ahmad VI/118-119. Lihat
Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 390, shahih]
·
Meletakkan hidangan makanan pada
sufrah
(alas yang biasa dipakai untuk meletakkan makanan) yang digelar di atas lantai,
tidak diletakkan di atas meja makan, karena hal tersebut lebih mendekatkan pada
sikap tawadhu’. Hal ini sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata:
مَا
أَكَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلاَ فِيْ
سُكُرُّجَةٍ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah makan di atas meja makan dan tidak pula di atas sukurrujah
[2].” [HR. Al-Bukhari no. 5415]
·
Hendaknya duduk dengan tawadhu’, yaitu duduk
di atas kedua lututnya atau duduk di atas punggung kedua kaki atau berposisi
dengan kaki kanan ditegakkan dan duduk di atas kaki kiri. Hal ini sebagaimana
posisi duduk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didasari dengan
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ
آكُلُ مُتَّكِئًا إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ
وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ.
“Aku tidak pernah makan sambil
bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan sebagaimana layaknya seorang
hamba dan aku pun duduk sebagaimana layaknya seorang hamba.” [HR. Al-Bukhari
no. 5399]
·
Hendaknya merasa ridha dengan
makanan apa saja yang telah terhidangkan dan tidak mencela-nya. Apabila
berselera menyantapnya, jika tidak suka meninggalkannya. Hal ini sebagaimana
hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
مَا
عَابَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعاَماً قَطُّ إِنِ
اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَ إِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah mencela makanan, apabila beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berselera, (menyukai makanan yang telah dihidangkan) beliau memakannya,
sedangkan kalau tidak suka (tidak berselera), maka beliau meninggalkannya.”
Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani di dalam kitab Syamaa-il Muhammadiyyah hal. 88 no. 127 memberikan
pengertian tentang sukurrujah yaitu piring kecil yang biasa dipakai untuk
menempatkan makanan yang sedikit seperti sayuran lalap, selada dan cuka. Ibnu
Hajar dalam Fat-hul Baari (IX/532) berkata: “Guru kami berkata dalam Syarah
at-Tirmidzi, “Sukurrujah itu tidak digunakan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya karena kebiasaan mereka makan
bersama-sama dengan menggunakan shahfah yaitu piring besar untuk makan lima orang
atau lebih. Dan alasan yang lainnya adalah karena makan dengan sukurrujah itu
menjadikan mereka merasa tidak kenyang.”-penj.
·
Mendahulukan orang tua ketika makan
عَنْ
حُذَيْفَةَ قَالَ كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ طَعَامًا لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا حَتَّى يَبْدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعَ يَدَهُ
Dari Hudzaifah ia berkata,” Jika
kami menghadiri jamuan makan bersama Rasulullah, tidaklah kami menjulurkan
tangan kami ke makanan sampai Rasulullah n memulainya” H.R Muslim.
2. Adab Ketika
Sedang Makan
·
Memulai makan dengan mengucapkan,
‘Bismillaah.’
Berdasarkan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى فَإِذَا نَسِيَ أَنْ
يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ.
“Apabila salah seorang di antara
kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismillaah’, dan jika ia lupa untuk
mengucapkan bismillaah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan:
‘Bismillaah awwaalahu wa aakhirahu’ (dengan menyebut Nama Allah di awal dan
akhirnya).” Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3767), at-Tirmidzi (no.
1858), Ahmad (VI/143), ad-Darimi (no. 2026) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum
wal Lailah (no. 281). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil
(no. 1965)
Abu Hafs Umar bin Abi Salamah
Radhiyallahu 'anhu menuturkan,
كُنْتُ
غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ
يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا
يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ
Ketika aku berada dalam bimbingan
Rasulullah, pernah suatu kali tanganku bergerak di atas piring ke segala arah,
hingga Rasulullah pun berkata kepadaku,”Wahai anak, sebutlah nama Allah,
makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari apa yang dekat denganmu.”
Maka demikianlah cara makanku sejak saat itu.
Shahih:
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5376), Muslim (no. 2022), Ibnu Majah (no.
3267), ad-Darimi (II/100) dan Ahmad (IV/26).
Telah
disebutkan dalam hadits terdahulu: “Berkumpullah kalian ketika makan dan
sebutlah nama Allah padanya, maka makanan kalian akan diberkahi.” Oleh sebab
itu, meninggalkan tasmiyyah (menyebut Nama Allah) ketika makan akan menghalangi
hadirnya keberkahan padanya. Sehingga syaitan -semoga Allah melindungi kita
darinya- ikut makan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"إِنَّ
الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلٌّ الطَّعَامَ إِلاَّ يُذْكَرَ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ."
“Sesungguhnya
syaitan mendapatkan bagian makanan yang tidak disebutkan Nama Allah padanya.”
[7] Shahih Muslim (III/1597) Kitaabusy Asyribah bab Aadaabith Tha’aami wasy
Syaraabi wa Ahkaamuhuma, hadits tersebut memiliki latar belakangnya
Imam
an-Nawawi berkata: “Arti dari mendapatkan yaitu dapat menikmati makanan
tersebut maksudnya bahwa syaitan itu mendapatkan bagian makanan jika seseorang
memulainya dengan tanpa dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, adapun bila
belum ada seseorang yang memulai makan, maka (syaitan) tidak akan dapat
memakannya, jika sekelompok orang makan bersama-sama dan sebagian mereka
menyebut Nama Allah sedangkan sebagian lannya tidak, maka syaitan pun tidak
akan dapat memakannya.” ( Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XIII/189-190).
·
Tidak boleh mencela makanan halal
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
طَعَامًا قَطُّ إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
Dari Abi Hurairah, ia berkata,”Nabi
tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Jika Beliau suka, Beliau memakannya.
Dan bila tidak suka, Beliau meninggalkannya.”
HR Muttafaqun ‘alaihi.
·
Tidak boleh makan dengan bersandar
عَنْ
أبي جُحَيْفَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا آكُلُ مُتَّكِئًا
Dari Abu Juhaifah, ia berkata,
Rasulullah bersabda,”Tidaklah aku makan dengan bersandar.” HR Al Bukhari, Al Fath, 9/540.
·
Makan Dari Pinggir-Pinggir Piring
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"الْبَرَكَةُ
تَنْزِلُ فِي وَسَطِ الطَّعَامِ فَكُلُوْا مِنْ حَافِيَتِهِ وَلاَ تَأْكُلُوْا
مِنْ وَسَطِهِ!"
‘Keberkahan
tersebut akan turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari
pinggir-pinggirnya dan jangan dari tengahnya!” .
Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi (IV/260) Kitaabul Ath’imah bab Maa Jaa-a fii Karaahiyatil Akli
min Wasathith Tha’aam, ia berkata: “Hadits ini shahih.” Dengan lafazh darinya. Diriwayatkan
juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1090) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu
‘Anil Akli min Dzirwatits Tsariid, Imam Ahmad dalam Musnadnya (I/270),
ad-Darimi dalam Sunan-nya (II/100) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘anil Akli
Wasathits Tsariid hatta Ya’-kula Jawaanibahu, Ibnu Hibban dalam Shahihnya
(VII/333) Kitaabul Ath’imah, Dziktul Ibtidaa-i fil Akli min Jawaanibith
Tha’aam. Abu Dawud meriwayatkannya dengan lafazh:
"إٍذَا
أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلاَ يَأْكُلْ مِنْ أَعْلَى الصَّحْفَةِ وَلَكِنْ
لِيَأْكُلْ مِنْ أَسْفَلِهَا فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ مِنْ أَعْلاَهَا."
“Jika salah
seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia makan dari bagian atas
piring, tetapi makanlah dari bagian paling bawah darinya, karena keberkahan itu
turun dari bagian atasnya.”
Dan dari
‘Abdullah bin Busr Radhiyallahu anhu
bahwasanya didatangkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah
piring, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
"كُلُوْا
مِنْ جَوَانِبِهَا وَدَعُوْا ذِرْوَتَهَا! يُبَارَكْ فِيْهَا.
“Makanlah dari
pinggirannya dan tinggalkanlah (terlebih dahulu) bagian tengahnya(niscaya) akan
diberkahi padanya.” Yaitu yang teratas karena puncak dari setiap sesuatu adalah
atasnya. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsaar, Ibnul Atsir
(II/159).
·
Disunnahkan untuk bercakap-cakap
ketika makan dan memuji makanan meskipun sedikit.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ
فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ
وَيَقُولُ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ
Dari Jabir bin Abdillah, bahwasanya
Nabi bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka menjawab,”Kita tidak
memiliki lauk, kecuali cuka.” Maka Beliaupun minta untuk dibawakan. Kemudian
Beliau makan dengan cuka tadi dan berkata,”Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik
lauk adalah cuka.” HR Muslim, 2052.
·
Hendaknya makan dengan menggunakan
tiga jari tangan kanan.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ
فَِإذَا فَرَغَ لَعِقَهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam senantiasa makan dengan meng-gunakan tiga jari tangan (kanan)
apabila sudah selesai makan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjilatinya.” [HR. Muslim no. 2032 (132), Abu Dawud no. 3848].-penj. Tiga jari
yang dimaksud adalah jari tengah, jari telunjuk dan ibu jari, sebagaimana yang
dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fat-hul Baari
IX/577.-penj.
Wajib makan dengan tangan kanan,
berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
عن سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ أَنَّ رَجُلًا
أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ
فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا
مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ
Dari Salamah bin Al Akwa’, bahwa
pernah seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya di sisi Rasulullah, maka
Beliau berkata,”Makanlah dengan tangan kananmu.” Laki-laki itu menjawab,”Aku
tidak bisa.” Beliau pun berkata,”Engkau tidak bisa, tidak ada yang mencegahmu
melakukannya melainkan kesombonganmu.” Akhirnya ia benar-benar tidak bisa
mengangkat tangannya ke mulutnya.
Ucapan Rasulullah pada hadits di
atas (لَا اسْتَطَعْتَ ) merupakan doa
Beliau atas laki-laki tadi, karena kesombongannya enggan mengukuti sunnah. Bahjatun
Nazhirin hal. 239.
·
Menyedikitkan suapan, memperbanyak
kunyahan, makan dengan apa yang terdekat darinya dan tidak memulai makan dari
bagian tengah piring, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Dan
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pula:
الْبَرَكَةُ
تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ فَكُلُوْا مِنْ حَافَتَيْهِ وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ
وَسَطِهِ.
“Keberkahan itu turun di
tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir-piring dan janganlah memulai
dari bagian tengahnya.” Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2031 (129)), Abu
Dawud (no. 3772) dan Ibnu Majah (no. 3269). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
rahimahullah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 379)
·
Apabila ada sesuatu dari makanan
kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian
memakannya. Berdasarkan hadits:
إِذَا
سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمِطْ ماَ كَانَ بِهَا مِنْ أَذَى
ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ.
“Apabila ada
sesuap makanan dari salah seorang di antara kalian terjatuh, maka hendaklah dia
membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan
meninggalkannya untuk syaitan.” Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2033
(135)), Abu Dawud (no. 3845) dan Ahmad (III/301). Lihat Silsilah al-Ahaadits
ash-Shahiihah (no. 1404), karya Syaikh al-Albani.
·
Hendaknya tidak meniup pada makanan
yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin. Tidak boleh
juga, untuk meniup pada minuman yang masih panas, apabila hendak bernafas maka
lakukanlah di luar gelas sebanyak tiga kali sebagaimana hadits Anas bin Malik.
كَانَ
يَتَنَفَّسُ فِي الشَّراَبِ ثَلاَثاً.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam jika minum, beliau bernafas (meneguknya) tiga kali (bernafas di luar
gelas).” Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5631), Muslim (no. 2028),
at-Tirmidzi (no. 1884), Abu Dawud (no. 3727).
Begitu juga hadits Abu Sa’id
al-Khudri Radhiyallahu anhu:
نَهَى
عَنِ النَّفْخِ فِي الشُّرْبِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang untuk meniup (dalam gelas) ketika minum.” Hasan: Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi (no. 1887), hasan. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1977), karya
Syaikh al-Albani.
Adapula hadits dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu anhu:
نَهَى
أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي اْلإِناَءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيْهِ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup
di dalamnya.” Hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1888), Abu Dawud (no.
3728), Ibnu Majah (no. 3429), (Ahmad I/220, 309). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no.
1977) , karya Syaikh al-Albani.
·
Hendaknya menghindarkan diri dari
kenyang yang melampaui batas.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak ada bejana yang diisi oleh
manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa
suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka
jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan,
sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” Hasan: Diriwayatkan oleh
Ahmad (IV/132), Ibnu Majah (no. 3349), al-Hakim (IV/ 121). Lihat Irwaa-ul
Ghaliil (no. 1983), karya Syaikh al-Albani rahimahullah.
·
Hendaknya memulai makan dan minum
dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan (mempersilahkan mengambil makanan
terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih
memiliki derajat keutamaan. Hal tersebut merupakan bagian dari adab yang terpuji.
Apabila tidak menerapkan adab tersebut, maka berarti mencerminkan sifat serakah
yang tercela.
·
Hendaknya tidak memandang kepada
temannya ketika makan, dan tidak terkesan mengawasinya karena itu akan membuatnya merasa
malu dan canggung. Namun sebaiknya menundukkan pandangan dari orang-orang yang
sedang makan di sekitarnya dan tidak melihat ke arah mereka karena hal itu
menyinggung perasaannya atau mengganggunya.
·
Hendaknya tidak melakukan sesuatu
yang dalam pandangan manusia dianggap menjijikkan, tidak pula membersihkan
tangannya dalam piring, dan tidak pula
menundukkan kepalanya hingga dekat dengan piring ketika sedang makan, mengunyah
makanannya agar tidak jatuh dari mulutnya, juga tidak boleh berbicara dengan
ungkapan-ungkapan yang kotor dan menjijikkan karena hal itu dapat mengganggu
teman (ketika sedang makan). Sedangkan mengganggu seorang muslim adalah
perbuatan yang haram.
·
Jika makan bersama orang-orang miskin,
maka hendaknya mendahulukan orang miskin tersebut. Jika makan
bersama-sama teman-teman, diperbolehkan untuk bercanda, senda gurau, berbagi
kegembiraan, suka cita dalam batas-batas yang diperbolehkan. Jika makan bersama
orang yang mempunyai kedudukan, maka hendaknya ia berlaku santun dan hormat
kepada mereka.
·
Keberkahan Pada Saat Menakar Makanan
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menakar makanan dan beliau
berjanji, dengannya akan didapatkan keberkahan padanya dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Terdapat suatu riwayat dalam Shahih al-Bukhari dari al-Miqdam bin
Ma’diyakrib [Beliau adalah Miqdam bin Ma’diyakrib bin ‘Amr bin Yazid al-Kindi,
menemani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan meriwayatkan beberapa
hadits-hadits beliau, menetap di Himsh, wafat pada tahun 87 H. Lihat Asadul
Ghaqbah (IV/478), al-Ishaabah (III/434) dan Tahdziibut Tahdziib (X/287).]
Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau
bersabda:
"كِيْلُوْا
طَعَامَكُمْ يُبَارَكْ لَكُمْ."
“Takarlah
makanan kalian, maka kalian akan diberkahi.” Shahih al-Bukhari (III/22)
Kitaabul Buyuu’ bab Maa Yustahabbu minal Kail.
Yang lainnya menambahkan pada akhir hadits: “فِيْهِ (padanya).”
Menakar
hukumnya adalah disunnahkan pada apa yang dikeluarkan seseorang bagi
keluarganya. Makna hadits tersebut adalah keluarkanlah makanan tersebut dengan
takaran yang diketahui yang akan habis pada waktu yang telah ditentukan. Dan
padanya terdapat keberkahan yang Allah berikan pada mud (ukuran dari jenis
takaran-pent) masyarakat Madinah, karena do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Fat-hul Baari (IV/346).
Rahasia
dalam takaran tersebut adalah karena
dengannya ia dapat mengetahui seberapa banyak yang ia butuhkan dan yang harus
ia siapkan. [28] Adapun hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: “Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat dan tidak ada sama sekali
dalam rakku [29] sesuatu [30] yang dapat dimakan oleh seorang manusia, kecuali
setengah gandum yang berada di rakku, maka saya memakannya hingga lama
mencukupiku, aku pun menakarnya, maka gandum itu pun habis.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya
(VII/179) Kitaabur Riqaaq bab Fadhlul Faqr juga oleh Muslim dalam Shahihnya
(IV/2282) Kitaabuz Zuhud war Riqaaq.
Dan
hadits-hadits lain yang semisalnya, sesungguhnya telah saya jawab hal tersebut
dengan beberapa jawaban, di antaranya adalah:
Pertama,
bahwasanya, maksud dari hadits al-Miqdam adalah, menakar makanan ketika akan
mengeluarkan nafkah darinya dengan syarat ada sisa yang tidak diketahui
takarannya, maka keberkahan adalah lebih banyak terdapat pada hal yang belum
diketahui dan samar-samar tersebut dan menakar apa yang akan dikeluarkan
tersebut adalah, agar tidak mengeluarkan lebih dari kebutuhan atau pun kurang
darinya. Syarhun Nawawi li Shahiihi
Muslim (XVIII/107), dengan sedikit perubahan.
Kedua,
kemungkinan maksud dari hadits, “Takarlah makanan kalian” adalah, jika kalian
menyimpannya dengan harapan keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan
keyakinan akan dikabulkannya, maka siapa yang menakar setelah itu, maka ia
adalah menakar untuk mengetahui ukurannya, dan hal itu merupakan keragu-raguan
pada terkabulnya harapannya, maka ia dibalas dengan cepat habisnya makanan
tersebut. Fat-hul Baari (IV/346).
Ketiga,
bahwasanya menakar makanan adalah dibutuhkan hanya pada saat jual beli, maka
keberkahan pun akan ada, dengan cara menakar tersebut, demi merealisasikan
perintah agama, dan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mungkin saja bermaksud
pada menakar yang hanya untuk menguji saja, oleh karena itu terjadilah
kekurangan, Ibid, IV/346, XI/281. ada juga yang mengatakan selain dari pendapat
ini. [35] Lihat Fat-hul Baari (IV/346, XI/280-281) dan ‘Umdatul Qaari (XI/247).
Menurut
pendapat saya yang paling dekat dengan kebenaran dari jawaban tersebut adalah
yang pertama, karena menakar makanan dan mengetahui takarannya ketika hendak
memakainya, untuk mengambil darinya jumlah yang sesuai dengan kebutuhan adalah
menghalangi dari sifat-sifat berlebih-lebihan dan membuang-buang harta
(mubazir), cara ini adalah termasuk cara untuk memperbanyak makanan,
sebagaimana juga dengan menakar makanan akan mencegah dari penghematan
berlebihan yang merugikan. [36] Lihat Dalaa-ilun Nubuwah al-Muhammadiyah fii
Dhau-il Hadits, Istanbuli (hal. 23-24).
3. Adab Setelah
Makan
·
Hendaknya mengakhiri makan dengan
pujian kepada Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ
مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَكَلَ طَعَامًا ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا
قُوَّةٍ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya, bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa makan kemudian ia
berdoa,’Segala puji bagi Allah Yang telah memberi makanan ini kepadaku dan
memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku,’ niscaya diampuni dosanya
yang telah lalu dan yang akan datang
·
Menghentikan makan dan minum sebelum
sampai kenyang, hal ini semata-mata meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, menghindarkan diri dari kekenyangan yang menyebabkan sakit perut yang
akut dan kerakusan dalam hal makan yang dapat menghilangkan kecerdasan.
·
Hendaknya menjilati jari-jemarinya
sebelum dicuci tangannya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَاماً فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ
يُلْعِقَهَا.
“Apabila salah seorang di antara
kalian telah selesai makan, maka janganlah ia mengusap tangannya hingga ia
menjilatinya atau minta dijilatkan (kepada isterinya, anaknya).” Shahih: Diriwayatkan
oleh al-Bukhari (no. 5456) dan Muslim (no. 2031 (129)
·
Menjilat Jari-Jari Setelah Makan,
Menjilat Piring Dan Memakan Makanan Yang Terjatuh
Dalam Shahih
Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bila makan suatu makanan beliau menjilat jari-jarinya yang tiga, beliau
bersabda:
"إِذَا
سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُمِطْ عَنْهَا اْلأَذَى وَلْيَأْكُلْهَا وَلاَ
يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ!"
“Apabila
makanan salah seorang dari kalian jatuh, maka bersihkanlah kotoran darinya,
kotoran lalu makanlah dan janganlah membiarkannya untuk dimakan oleh syaitan!”
Dan
beliau memerintahkan kami untuk membersihkan piring (dengan menghabiskan
sisa-sisa makanan yang ada), beliau bersabda:
"فَإِنَّكُمْ
لاَ تَدْرُوْنَ فِيْ أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ."
“Karena
kalian tidak mengetahui di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan itu
berada.” Shahih Muslim (III/1607) Kitaabul Asyribah bab Istihbaabu La’qil
Ashaabi’a wal Qash’ah wa Aklil Luqmatis Saaqithah ba’da Mas-hi ma Yushiibuha min
Adzaa wa Karaahiyati Mas-hil Yadd qabla La’qiha.
Juga
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"إِذَا
أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَلْعَقْ أَصَابَعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي فِي أَيَّتِهِنَّ
الْبَرَكَةُ."
“Apabila
seseorang diantara kalian makan maka jilatlah jari-jarinya karena ia tidak
mengetahui di bagian jari yang manakah keberkahan itu berada.” Shahih Muslim
(III/1607) pada kitab dan bab yang sama.
Dan dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu:
"وَلاَ
يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيْلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ!"
“Dan janganlah
ia memersihkan tangannya dengan lap, hingga ia menjilat jari-jemarinya.” Shahih Muslim (III/1606) pada kitab dan bab
yang sama.
Juga hadits-hadits lain yang semisalnya.
Hadits-hadits
tersebut mengandung beberapa jenis Sunnah dalam makan yaitu, di antaranya
anjuran menjilat jari tangan untuk menjaga keberkahan makanan dan sekaligus
membersihkannya, juga anjuran menjilat piring dan makan makanan yang terjatuh
setelah membersihkannya dari kotoran yang ada. Syarhun Nawawi li Shahiihi
Muslim (III/203-204), dengan sedikit perubahan.
Imam an-Nawawi
berkata, saat menjelaskan maksud dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
"لاَ
تَدْرُوْنَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ."
“Kalian tidak
mengetahui di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan itu berada.”
Beliau
(Imam an-Nawawi) berkata, “Artinya adalah -wallaahu a’lam- bahwasanya makanan
yang disediakan oleh seseorang itu terdapat keberkahan di dalamnya, namun ia
tidak mengetahui ada di bagian manakah dari makanannya keberkahan tersebut,
apakah pada apa yang telah dimakannya atau ada pada yan tersisa di tangannya
atau ada pada sisa-sisa makanan di atas piring atau pada makanan yang jatuh,
maka seyogyanya semua kemungkinan tersebut harus dijaga dan diperhatikan agar
mendapatkan keberkahan makanan, dan inti dari keberkahan adalah bertambah,
tetapnya suatu kebaikan dan menikmatinya, maksudnya adalah -wallaahu a’lam- apa
yang ia dapatkan dari makanan tersebut (untuk menghilangkan lapar), terhindar
dari penyakit dan menguatkan tubuh untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
serta hal lainnya.
Maka,
perhatikanlah bahwa adab-adab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut mengandung
anjuran untuk memperoleh keberkahan makanan dan mendapatkannya, seperti juga
padanya terdapat penjagaan terhadap makanan agar tidak hilang percuma, yang
membantu pada penghematan harta dan pemakaiannya tanpa mubazir.
·
Hendaknya menjilati tangannya
kemudian mengusapnya atau mencuci tangannya. Dan mencuci tangan itu lebih utama
dan lebih baik.
·
Memungut makanan yang jatuh ketika
saat makan, sebagai bagian dari kesungguhannya dalam menerapkan adab makan
dan hal itu termasuk cerminan rasa syukurnya atas limpahan nikmat yang ada.
·
Membersihkan sisa-sisa makanan yang
ada di sela-sela giginya, dan berkumur untuk membersihkan mulutnya, karena dengan mulutnya
itulah ia berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan berbicara dengan
teman-temannya.
·
Hendaknya memuji Allah Azza wa Jalla
setelah selesai makan dan minum. Dan apabila meminum susu, maka ucapkanlah do’a setelah meminumnya,
yaitu:
اَللّهُمَّ
بَارِكْ لَنَا فِيْمَا رَزَقْتَنَا وَزِدْنَا مِنْهُ.
“Ya Allah, berikanlah keberkahan
kepada kami pada apa-apa yang telah Engkau rizkikan kepada kami dan
tambahkanlah (rizki) kepada kami darinya.” Hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 3730), at-Tirmidzi (no. 3451) dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah
(no. 286-287). Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam
Shahiih Jami’ush Shaghiir (no. 381). Lafazh ini terdapat dalam kitab Ihyaa’
‘Uluumiddiin (II/6
Jika berbuka puasa di rumah
seseorang, hendaklah dia berdo’a:-editor
اَفْطَرَ
عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ
عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ.
“Telah berbuka di rumahmu
orang-orang yang berpuasa, telah makan makananmu orang-orang baik dan semoga
para Malaikat bershalawat (berdo’a) untukmu.” Shahih: Diriwayatkan oleh Abu
Dawud (no. 3854) dan Ibnu Majah (no. 1747). Dishahihkan oleh al-Albani dalam
Shahiih Abi Dawud (II/703).
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam
Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin
‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
13. ADAB MINUM
Jauh sebelum manusia menemukan
beragam minuman multivitamin penjaga stamina tubuh, berabad silam Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan teladan sempurna perihal minum.
Dalam paparan hadits dijelaskan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat
menyukai minuman yang dingin dan manis. Aisyah Radhiyallahu anha menuturkan.
كَانَ
أَحَبُّ الشَّرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْحُلْوَ الْبَارِدَ
Minuman yang
paling disukai Rasulullah ialah yang dingin dan manis.
Penuturan Aisyah di atas memiliki
beberapa ihtimal (kemungkinan). Bisa jadi, yang dimaksud ialah air yang
dicampur madu, rendaman kismis ataupun kurma, sebagaimana tercantum dalam
riwayat Muslim berikut.
َعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنْبَذُ لَهُ الزَّبِيبُ فِي
السِّقَاءِ فَيَشْرَبُهُ يَوْمَهُ وَالْغَدَ وَبَعْدَ الْغَدِ فَإِذَا كَانَ
مَسَاءُ الثَّالِثَةِ شَرِبَهُ وَسَقَاهُ فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ أَهَرَاقَهُ
Dari Ibnu Abbas Radhiyalahu 'anhu,
ia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah dibuatkan rendaman
kismis dalam satu bejana, kemudian beliau minum rendaman tersebut pada hari
itu, juga esok harinya dan keesokannya harinya. Pada sore hari ketiga beliau
memberi minuman tersebut kepada yang lain, jika masih ada yang tersisa ,
beliaupun menuangnya.”
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengungkapkan dalam kitab Zaaduul Ma’ad, jika dua sifat dingin dan manis
terhimpun dalam satu minuman, akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi
tubuh, membantu proses pencernaan dan penyaluran saripati makanan dengan
sempurna, mencairkan dahak, mencuci dan membasmi bibit penyakit di lambung,
menetralisir sisa-sisa makanan , serta menstabilkan kehangatan lambung. Di
samping itu juga sangat bermanfaat bagi hati, ginjal dan kandung kemih.
Lebih jauh lagi beliau menjelaskan,
air dingin yang telah dienapkan memiliki kelembaban yang mampu menetralisir
panas tubuh, sekaligus menjaga kelembabannya, serta mengganti sebagian zat yang
telah terurai dari tubuh. Karena itulah Rasulullah amat menggemarinya,
sebagaimana tercantum dalam riwayat Bukhari,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَىرَجُلٍ
مِنَ الْأَنْصَارِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ وَمَعَهُ صَاحِبٌ لَهُ فَقَالَ لَهُ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كَانَ عِنْدَكَ مَاءٌ
بَاتَ هَذِهِ اللَّيْلَةَ فِي شَنَّةٍ وَإِلَّا كَرَعْنَا
Dari Jabir bin Abdillah
Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke
rumah salah seorang laki-laki Anshar bersama seorang sahabatnya, seraya berkata
kepadanya,”Adakah engkau mempunyai air yang telah diinapkan dalam bejana kulit?
Jika tidak kami akan minum langsung dari mulut kami.”
Selain memberitahukan
jenis minuman yang bermanfaat bagi tubuh kita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam juga memberitahukan dan melarang kita mengkonsumsi semua jenis
minuman yang memabukkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.
كًلُّ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَ كُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Semua yang memabukkan itu adalah
khamr. Dan semua khamr hukum haram [HR. Muslim no. 5185]
Walaupun menurut sebagian orang
khamr itu bermanfaat, akan tetapi bahaya yang diakibatkan jauh lebih besar.
Itulah diantara petunjuk-petunjuk
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Memerintahkan mereka
untuk mengkonsumsi yang jelas halalnya dan bermanfaat serta melarang selain
itu.
Disamping memberitahukan jenis
minuman, Rasulullah juga memberikan tuntunan tentang adab-adab minum serta hal
lain yang berkaitan dengan minum. Diantaranya:
· Minum dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Hal ini
berdasarkan hadits yang memerintahkan membaca bismillah sebelum makan.
Sebagaimana tasmiyah (membaca bismillah) di sunnahkan sebelum makan, maka
demikian juga hal sebelum minum. (Syarah Shahih Muslim juz 13 hal. 189) Syaitan
akan menjauhi makanan dan minuman yang dibacakan bismillah sebelum di konsumsi.
·
Minum dengan tangan kanan dan tidak
menggunakan tangan kiri. Rasulullah n bersabda.
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ
بِيَمِيْنِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ
يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
Apabila salah seorang diantara
kalian makan, maka hendaklah dia makan dengan tangan kanannya dan apabila salah
seorang diantara kalian minum maka hendaklah dia minum dengan tangan kanannya,
karena syaitan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.
[HR. Muslim no. 5233]
لاَ
يَأْكُلَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِشِمَالِهِ وَلاَيَشْرَبَنَّ بِهَا فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِهَا
Janganlah sekali-kali salah
seseorang diantara kalian makan dengan tangan kirinya dan jangan pula minum
dengannya. Karena syaitan makan dengan minum dengan tangan kirinya. [HR. Muslim
no. 5236]
·
Minum dengan duduk, dan beliau
melarang dengan tegas minum dalam keadaan berdiri.
Dari Abu Hurairah ia
berkata Rasullah bersabda,
لَا
يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ
Janganlah sekali-kali salah seorang
dari kalian minum dengan berdiri, jika lupa hendaklah ia memuntahkannya.
Adapun riwayat-riwayat yang
menjelaskan bahwa Rasulullah pernah minum dengan berdiri juga merupakan riwayat
yang shahih. Namun begitu semua riwayat tersebut merupakan perbuatan Rasulullah.
Sedangkan perkataan beliau lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Kerena
perbuatan beliau terkadang menjelaskan, bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi
beliau. Wallahu a’lam.[4]
Imam Nawawi rahimahullah ketika
menjelaskan makna larangan minum dalam keadaan berdiri berkata, “Bahwa larangan
yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut dibawa pengertiannya kepada hukum
makruh tanzih” [Syarah Shahih Muslim juz 13 hal. 192]
Berdasarkan adab-adab diatas, kita
bisa mengambil satu faidah yaitu bathilnya kebiasaan yang disuguhkan musuh
Islam berupa makan dan minum sambil berdiri, dengan menggunakan tangan kiri.
·
Tidak bernafas di dalam gelas, dan
dianjurkan untuk bernafas tiga kali ketika minum.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ
يُتَنَفَّسَ فِي الْإِنَاءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيهِ
·
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi melarang
bernafas dalam bejana ataupun meniupnya.”
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يَتَنَفَّسُ فِي الْإِنَاءِ ثَلَاثًا
Dari Anas bin
Malik, bahwa Rasulullah bernafas tiga kali ketika minum.
·
Tidak minum langsung dari mulut
teko.
أَبُو
هُرَيْرَةَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الشُّرْبِ مِنْ فَمِ الْقِرْبَةِ أَوِ السِّقَاءِ عن
Dari Abu Hurairah ia
berkata,”Rasulullah melarang minum lansung dari mulut teko ataupun qirbah
(wadah minum dari kulit).” [7]
·
Tidak minum dengan menggunakan
bejana dari emas ataupun perak, karena adanya larangan Rasulullah tentang hal
tersebut.
عَنْ
أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ شَرِبَ فِي إِنَاءٍ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ فَإِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي
بَطْنِهِ نَارًا مِنْ جَهَنَّمَ
Dari Umu Salamah Radhiyallahu 'anha
, ia berkata, Rasulullah bersabda,”Orang yang minum menggunakan wadah emas atau
perak, sesungguhnya ia ibarat menelan api neraka ke dalam perutnya.” [8
·
Menutup bejana air pada malam hari,
tidak membiarkannya terbuka.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ غَطُّوا
الْإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ فَإِنَّ فِي السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فِيهَا
وَبَاءٌ لَا يَمُرُّ بِإِنَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ غِطَاءٌ أَوْ سِقَاءٍ لَيْسَ
عَلَيْهِ وِكَاءٌ إِلَّا نَزَلَ فِيهِ مِنْ ذَلِكَ الْوَبَاءِ
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
aku mendengar Rasululah bersabda,” Tutuplah bejana-bejana dan wadah air. Karena
dalam satu tahun ada satu malam, ketika itu turun wabah, tidaklah ia melewati
bejana-bejana yang tak tertutup, ataupun wadah air yang tidak diikat melainkan akan
turun padanya bibit penyakit.”
14.
ADAB MEMINTA IZIN
Sebagian orang
beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke dalam rumah
tanpa harus meminta izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا
بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا
ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Hai, orang orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar
kamu selalu ingat".[An Nur:27].
Ayat di atas dengan jelas membedakan
antara salam dan meminta izin. Dengan demikian, seseorang yang telah dijawab salamnya,
harus meminta izin sebelum masuk ke dalam rumah. Inilah adab yang dicontohkan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Kaladah bin Al Hambal, bahwasanya Shafwan bin Umayyah
mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah dengan membawa liba' [1], jadayah
[2] dan dhaghabis [3]. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berada di atas lembah. Aku menemui Beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa
minta izin. Maka Beliau bersabda:
"اِرْجِعْ
فَقُلْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أأدخل"
"Keluarlah, ucapkanlah salam
dan katakan: “Bolehkah aku masuk?” [Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, At
Tirmidzi dan An Nasa’i]
· Hendaklah Berdiri Di Sisi Kiri Atau Kanan Pintu
Bagi orang yang meminta izin,
hendaklah berdiri di sisi kanan atau kiri pintu. Dan janganlah ia berdiri tepat
di depan pintu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan mata tidak jatuh pada
perkara-perkara yang tidak layak dipandang saat pintu terkuak. Terlebih lagi,
jika pintu memang dalam keadaan terbuka. Sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr,
ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا أَتَي بَابَ قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلِ البَابَ مِنْ تِلْقَاءَ
وَجْهِهِ وَلَكِنْ مِنْ رُكْنِهِ الأَيْمَنِ أَوْ الأَيْسَرِ وَيَقُوْلُ
"السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ"
"Apabila Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mendatangi rumah orang, Beliau tidak berdiri di depan pintu,
akan tetapi di samping kanan atau samping kiri, kemudian Beliau mengucapkan
salam "assalamu 'alaikum, assalamu 'alaikum", karena saat itu
rumah-rumah belum dilengkapi dengan tirai". [Hadist riwayat Abu Dawud].
Abu Dawud juga meriwayatkan dari
Huzail, ia berkata: "Seorang lelaki –Utsman bin Abi Syaibah menyebutkan,
lelaki ini adalah Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu - datang lalu
berdiri di depan pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta
izin. Dia berdiri tepat di depan pintu. Utsman bin Abi Syaibah mengatakan: Berdiri
menghadap pintu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:
"هَكَذَا
عَنْكَ - أَوْ هَكَذَا - فَإِنَّمَا الاِسْتِئْذَانُ مِنَ النَّظَرِ"
"Menyingkirlah
dari depan pintu, sesungguhnya meminta izin disyari’atkan untuk menjaga
pandangan mata".
·
Bila Tidak Diizinkan Hendaklah Ia
Kembali
Dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فِيهَآ أَحَدًا فَلاَ
تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِن قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا
هُوَ ازْكَى لَكُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
"Jika kamu tidak menemui
seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin.
Dan jika dikatakan kepadamu "Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu
kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan". [An Nur:28].
Apabila seseorang telah mengucapkan
salam dan meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak juga dipersilakan,
hendaklah ia kembali. Boleh jadi tuan rumah sedang enggan menerima tamu, atau
ia sedang bepergian. Karena seorang tuan rumah mempunyai kebebasan antara
mengizinkan atau menolak tamu. Demikianlah adab yang diajarkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:
"إِذَا
اسْتَأَذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَنْصَرِفْ"
"Jika
salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak
diberi izin, maka kembalilah". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].
·
Larangan Mengintip Ke Dalam Rumah Orang
Lain
Sering kita jumpai orang-orang yang
jahil tentang tuntunan syari'at, karena terdorong rasa ingin tahu, ia mengintip
ke dalam rumah orang lain. Baik karena salam yang tak terjawab, atau hanya
sekedar iseng. Mereka tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti ini diancam
keras oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:
"لَوْ
أَنَّ امْرَأً اِطْلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَخَذَفَتْهُ بِحُصَاةٍ
فَفَقَأَتْ عَيْنُهُ مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ"
"Sekiranya ada seseorang yang
mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu hingga
tercungkil matanya, maka tiada dosa atasmu". [Hadits riwayat Al Bukhari
dan Muslim].
Dalam hadits lain yang diriwayatkan
dari Sahal bin Saad As Sa'idi Radhiyallahu 'anhu, ia mengabarkan bahwasanya
seorang laki laki mengintip pada lubang pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Ketika itu, Beliau tengah membawa sebuah sisir yang biasa Beliau
gunakan untuk menggaruk kepalanya. Ketika melihatnya, Beliau bersabda:
"Seandainya aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya telah aku lukai
kedua matamu dengan sisir ini". Beliau bersabda: "Sesungguhnya
permintaan izin itu diperintahakan untuk menjaga pandangan mata." [Hadits
riwayat Al Bukhari dan Muslim].
Demikianlah beberapa perkara yang
harus diperhatikan ketika hendak memasuki rumah orang lain, kecuali rumah-rumah
yang tidak didiami oleh seorangpun, dan ia ada keperluan di dalamnya. Seperti
rumah yang memang disediakan untuk para tamu, jika di awal ia telah diberi
izin, maka cukuplah baginya. Demikian juga tempat-tempat umum, seperti
tempat-tempat jualan, penginapan dan lain sebagainya.
Kini muncul pertanyaan, apakah kita
juga harus meminta izin ketika hendak masuk menemui salah seorang anggota
keluarga kita? Berikut ini perinciannya.
·
Seorang Laki-Laki Harus Meminta Izin
Ketika Hendak Masuk Menemui Ibunya
Seorang anak laki laki
yang telah baligh, wajib meminta izin secara mutlak ketika hendak masuk menemui
ibunya.
Di dalam kitab Adabul
Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Muslim bin Nadzir,
bahwasanya ada seorang laki laki bertanya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman:
"Apakah saya harus meminta izin ketika hendak masuk menemui ibuku?"
Maka ia menjawab: "Jika engkau tidak meminta izin, niscaya engkau akan
melihat sesuatu yang tidak engkau sukai." [Hadits mauquf shahih].
Demikian juga riwayat
dari Alqamah, ia berkata: Seorang laki laki datang kepada Abdullah bin Mas'ud
Radhiyallahu 'anhu dan berkata: "Apakah aku harus meminta jika hendak masuk
menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Tidaklah dalam semua keadaannya ia
suka engkau melihatnya." [Hadits mauquf shahih].
·
Seorang Laki-Laki Harus Meminta Izin
Ketika Hendak Menemui Saudara Perempuannya
Demikian juga seorang laki laki
baligh, harus meminta izin ketika hendak masuk menemui saudara perempuannya.
Di dalam kitab Al Adabul
Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Atha'. Dia berkata, aku
bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Apakah aku harus meminta izin jika hendak
masuk menemui saudara perempuanku?" Dia menjawab,”Ya.” Aku mengulangi
pertanyaanku: "Dua orang saudara perempuanku berada di bawah tanggunganku.
Aku yang mengurus dan membiayai mereka. Haruskah aku meminta izin jika hendak
masuk menemui mereka?" Maka dia menjawab,”Ya. Apakah engkau suka melihat
mereka berdua dalam keadaan telanjang?" [Hadits mauquf shahih].
·
Perintah Kepada Orang Tua Agar
Mengajari Anak-Anak Dan Para Pelayannya Tentang Keharusan Meminta Izin Pada
Tiga Waktu
Di dalam Al Qur’an surat An Nur ayat
58, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang
yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu
hari), yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu
di tengah hari, dan sesudah sesudah shalat Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi
kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga
waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada
sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".
Dalam ayat di atas Allah
memerintahkan kaum mukminin, agar para pelayan yang mereka miliki dan anak-anak
yang belum baligh meminta izin kepada mereka pada tiga waktu.
Pertama : Sebelum shalat subuh,
karena biasanya orang-orang pada waktu itu sedang nyenyak tidur di pembaringan
mereka.
Kedua : Ketika kamu menanggalkan
pakaian (luar)mu di tengah hari”, yaitu pada waktu tidur siang, karena pada
saat itu orang-orang melepas pakaian mereka untuk bersantai bersama keluarga.
Ketiga
: Sesudah sesudah shalat Isya, karena saat itu adalah waktu tidur.
Pelayan dan anak-anak diperintahkan
agar tidak masuk menemui ahli bait pada waktu-waktu tersebut, karena
dikhawatirkan seseorang sedang bersama isterinya, atau sedang melakukan hal-hal
yang bersifat pribadi.
Oleh sebab itu, Allah mengatakan:
"Itulah tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas
mereka selain dari (tiga waktu) itu", yakni jika mereka masuk pada waktu
di luar tiga waktu tersebut, maka tiada dosa atas kamu bila membuka kesempatan
buat mereka (untuk masuk), dan tiada dosa atas mereka bila melihat sesuatu di
luar tiga waktu tersebut. Karena mereka telah diizinkan untuk masuk menemui
kalian, karena mereka keluar masuk untuk melayani kamu atau untuk urusan
lainnya.
Para pelayan yang biasa keluar masuk
diberi dispensasi yang tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu,
Imam Malik, Imam Ahmad dan penulis kitab Sunan meriwayatkan, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang kucing:
"إِنَّهَا
لَيْسَتْ بِنَجَسَةٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ أَوْ
وَالطَّوَّافَاتِ"
"Ia
(kucing) tidaklah najis, karena ia selalu berkeliaran di sekitar kamu".
Selanjutnya Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka
hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta
izin", yakni apabila anak-anak yang sebelumnya harus meminta izin pada
tiga waktu yang telah disebutkan di atas. Apabila mereka telah mencapai usia
baligh, mereka wajib meminta izin di setiap waktu, seperti halnya orang-orang
dewasa dari putera seseorang, atau dari kalangan karib-kerabatnya wajib meminta
izin.
Al Auza'i meriwayatkan dari Yahya
bin Abi Katsir, ia mengatakan: "Apabila seorang anak masih balita, ia
harus meminta izin kepada kedua orang tuanya (bila ingin masuk menemui keduanya
dalam kamar) pada tiga waktu tersebut. Apabila ia telah mencapai usia baligh ia
harus meminta izin di setiap waktu."
Demikianlah paparan singkat tentang
perkara-perkara yang berkaitan dengan adab-adab isti'dzan. Mudah-mudahan dapat
memambah pemahaman kita tentang ajaran Islam dalam membimbing umat manusia,
guna memperoleh seluruh kemashlahatan dan menggapai kabahagiaan hidup di dunia
dan di dunia dan akhirat.
15. ADAB BERTEMU DAN BERPISAH
·
Tersenyumlah
dan tunjukkan wajah berseri saat bertemu
Apabila bertemu
dengan sesama muslim, kerabat, atau tetangga, hendaknya kita menunjukkan wajah
ceria dan berseri-seri untuk memberikan kegembiraan, menumbuhkan rasa cinta,
mempererat ikatan hati dan memperdalam kasih sayang. Islam sangat memperhatikan
perkara ini. Tersenyum dan menunjukkan wajah yang berseri-seri adalah suatu
amalan yang tidak boleh dipandang remeh, bahkan digolongkan sebagai sedekah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Senyum yang engkau berikan
kepada saudaramu terhitung sedekah.” (HR. At-Tirmidzi dari Abu Dzar
radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’).
Beliau juga bersabda, “Janganlah kamu menganggap remeh suatu kebaikan, walaupun
hanya sekedar bermanis muka ketika kamu menemui saudaramu.” (HR. Muslim (2626)
dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)
· Mengucapkan salam dan wajib
membalasnya apabila diberi salam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Hak seorang muslim terhadap muslim lainnya ada enam: Jika
kamu bertemu dengannya kamu mengucapkan salam…” (HR. Muslim (5778) dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu). Ucapan salam ini dapat mengokohkan rasa cinta
antara sesama muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebarkanlah salam di antara kalian, niscaya kalian saling mencintai.” (HR.
Al-Hakim (IV/167:168) disetujui oleh Adz-Dzahabi dari Abu Musa)
·
Menyebarkan
salam merupakan salah satu sebab seseorang masuk surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali silaturrahmi, dan
shalatlah di malam hari ketika manusia tidur, niscaya kalian masuk surga dengan
selamat.” (HR. Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’
(1085)). Menyebarkan salam adalah sebab keselamatan dunia dan akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebarkanlah salam, niscaya
kalian akan selamat.” (HR. Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Shahih al-Jami’ (1087)). Orang yang diberi salam wajib menjawab salam. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Apabila kamu dihormati dengan suatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau
balaslah (dengan yang serupa).” (QS. An-Nisa’: 86)
·
Berjabat
tangan.
Hal ini dapat mempererat hubungan dan
menumbuhkan cinta dan kasih sayang. Bahkan berjabat tangan dapat menggugurkan
dosa-dosa dan kesalahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak seorangpun dari kaum muslimin yang bertemu lantas mereka berjabat tangan
kecuali dosa mereka akan diampuni sebelum mereka berpisah.” (HR. Ath-Thabrani
dalam Al-Ausath (1/184) dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh
Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah (536))
Berpelukan ketika
menyambut seseorang dari safar. Ketika Jabir radhiyallahu ‘anhu pergi ke negeri
Syam untuk mendengar hadits dari ‘Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu, Jabir
berkata, “…lalu dia keluar menyambutku dan memelukku.” Dalam beberapa atsar
yang lain juga disebutkan bahwa para sahabat jika bertemu, mereka saling
berjabat tangan dan apabila mereka pulang dari safar maka mereka saling
berpelukan. (Riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Ausath (1/97) dari Anas bin Malik
dan riwayat ini juga dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah
(2647)
Lalu, apa saja yang dilarang oleh
syari’at (ketika bertemu dengan sesama muslim –ed)?
·
Membungkuk
Mungkin kita
sering melihat fenomena “membungkuk”dalam rangka menghormati seseorang. Padahal
hal ini dilarang dalam agama Islam karena ini merupakan perilaku orang kafir.
Seseorang pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya
Rasulullah, apabila salah seorang dari kami bertemu dengan saudaranya atau
temannya, bolehkah ia membungkukkan badannya? Beliau menjawab, “Tidak boleh.”
Ia bertanya lagi, “Apakah harus menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak boleh.” Ia
bertanya lagi, “Lalu, apakah ia menjabat tangannya?” Beliau menjawab, “Ya.”
(HR. At-Tirmidzi (2728) dan beliau menghasankannya)
·
Mencium
Hal ini tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah maupun para sahabatnya, berdasarkan hadits yang telah disebutkan di
atas.
·
Memulai
ucapan salam kepada orang kafir
Rasulullah melarang
umatnya untuk mendahului salam kepada orang kafir. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mendahulu
orang Yahudi dan Nasrani dalam mengucapkan salam.” (HR. Muslim (2167) dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Demikianlah
pembahasan adab bertemu dengan sesama muslim, semoga kita senantiasa diberi
kemudahan dalam menjalankan sunnah yang mulia ini. Wallahu Ta’ala a’lam.
Daftar Pustaka
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-7574821]
16. ADAB
MENGUAP
·
Apabila
seseorang akan menguap, maka hendaknya menahan semampunya dengan jalan menahan
mulutnya serta mempertahankannya agar jangan sampai terbuka, hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
التَّثَاؤُبُ
فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ
مَا اسْتَطَاعَ.
“Kuapan
(menguap) itu datangnya dari syaitan. Jika salah seorang di antara kalian ada
yang menguap, maka hendaklah ia menahan semampunya” [HR. Al-Bukhari no. 6226
dan Muslim no. 2944. Lafazh ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]
Apabila
tidak mampu menahan, maka tutuplah mulut dengan meletakkan tangannya pada mulutnya,
hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيْهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ
يَدْخُلُ
“Apabila
salah seorang di antara kalian menguap maka hendaklah menutup mulut dengan tangannya
karena syaitan akan masuk (ke dalam mulut yang terbuka).” [HR. Muslim no. 2995
(57) dan Abu Dawud no. 5026]
·
Tidak
disyari’atkan untuk meminta perlindungan dari syaitan kepada Allah ketika
menguap, karena hal tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para Sahabatnya.
17. ADAB-ADAB BERSIN
·
Hendaknya
orang yang bersin untuk merendahkan suaranya dan tidak secara sengaja
mengeraskan suara bersinnya. Hal tersebut berdasarkan hadits dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا عَطَسَ غَطَّى وَجْهَهُ
بِيَدِهِ أَوْ بِثَوْبِهِ وَغَضَّ بِهَا صَوْتَهُ.
“Bahwasanya
apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersin, beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menutup wajah dengan tangan atau kainnya sambil merendahkan
suaranya.” [HR. Ahmad II/439, al-Hakim IV/264, Abu Dawud no. 5029, at-Tirmidzi
no. 2746. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/355 no. 2205]
·
Hendaknya
bagi orang yang bersin menahan diri untuk tidak menolehkan leher (menekukkan
leher) ke kanan atau ke kiri ketika sedang bersin karena hal tersebut dapat
membahayakannya. Seandainya lehernya menoleh (menekuk ke kanan atau ke kiri)
itu dimaksudkan untuk menjaga agar tidak mengenai teman duduk di sampingnya,
hal itu tidak menjamin bahwa lehernya tidak cedera. Telah terjadi pada beberapa
orang ketika bersin memalingkan wajahnya dengan tujuan untuk menjaga agar teman
duduknya tidak terkena, namun berakibat kepalanya kaku dalam posisi menoleh.
·
Dianjurkan
kepada orang yang bersin untuk mengucapkan alhamdulillaah sesudah ia selesai
bersin. Dan tidak disyari’atkan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya untuk
serta merta mengucapkan pujian kepada Allah (menjawabnya) ketika mendengar
orang yang bersin. Telah ada ungkapan pujian yang disyari’atkan bagi orang yang
bersin sebagaimana yang tertuang dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yaitu:
“Segala puji bagi Allah” [HR. Al-Bukhari no. 6223, at-Tirmidzi no.
2747]
اَلْحَمْدُ
ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
“Segala
puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” [HR. Al-Bukhari di dalam al-Adaabul
Mufrad no. 394, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 224, Ibnu Sunni
dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.259. Lihat Shahihul Jami’ no. 686]
اَلْحَمْدُ
ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ.
“Segala
puji bagi Allah atas segala hal” [HR. Ahmad I/120,122, at-Tirmidzi no. 2738,
ad-Darimi II/283, al-Hakim IV/66. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/354 no. 2202]
اَلْحَمْدُ
ِللهِ حَمْدًا كَثِِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكاً فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَ
يَرْضَى.
“Segala
puji bagi Allah (aku memuji-Nya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh
ke-berkahan sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Rabb kami.” [HR. Abu
Dawud no. 773, al-Hakim III/232. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud I/147 no. 700]
·
Wajib
bagi setiap orang yang mendengar orang bersin (dan mengucapkan alhamdulillah)
untuk melakukan tasymit kepadanya, yaitu dengan mengucapkan,
يَرْحَمُكَ
اللهُ
“Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu.”
Apabila tidak mendengarnya
mengucapkan al-hamdulillah, maka janganlah mengucapkan tasymit (ucapan
yarhamukallah) baginya, dan tidak perlu mengingatkannya untuk mengucapkan hamdallah
(ucapan alhamdulillaah). Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
إِذَا
عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَحَمِدَ اللهَ: فَشَمِّتُوْهُ فِإِنْ لَمْ يَحْمَدِ اللهَ
فَلاَ تُشَمِّتُوْهُ.
·
Bila
ada orang kafir bersin lalu dia memuji Allah, boleh berkata kepadanya:
يَهْدِيْكُمُ
اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ.
“Semoga Allah memberikan pada kalian petunjuk dan memperbaiki
keadaan kalian.”
Hal
ini berdasarkan hadits Abu Musa al-‘Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata:
كَانَ
الْيَهُوْدُ يَتَعَاطَسُوْنَ عِنْدَ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَرْجُوْنَ أَنْ يَقُوْلَ لَهُمْ يَرْحَمُكُمُ اللهُ فَيَقُوْلُ:
يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ باَلَكُمْ.
“Orang-orang Yahudi berpura-pura bersin di ha-dapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berharap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sudi mengatakan kepada mereka yarhamukumullah (semoga Allah
memberikan rahmat bagi kalian), namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya mengucapkan yahdikumullaah wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberikan
pada kalian petunjuk dan memperbaiki keadaanmu).” [HR. Ahmad IV/400, al-Bukhari
dalam al-Adaabul Mufrad II/392 no. 940, Abu Dawud no. 5058, an-Nasa-i dalam
‘Amalul Yaum wal Lailah no. 232, at-Tirmidzi no. 2739, al-Hakim IV/268. Lihat
Shahih Sunan at-Tirmidzi II/354 no. 2201]
·
Apabila
orang yang bersin itu menambah jumlah bersinnya lebih dari tiga kali, maka
tidak perlu dijawab dengan ucapan yarhamukallah. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا
عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيُشَمِّتْهُ جَلِيْسُهُ وَإِنْ زَادَ عَلَى ثَلاَثٍ فَهُوَ
مَزْكُوْمٌ وَلاَ تُشَمِّتْ بَعْدَ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ
“Apabila
salah seorang di antara kalian bersin, maka bagi yang duduk di dekatnya
(setelah mendengarkan ucapan alhamdulillaah) menjawabnya dengan ucapan
yarhamukallah, apabila dia bersin lebih dari tiga kali berarti ia sedang
terkena flu dan jangan engkau beri jawaban yarhamukallah setelah tiga kali
bersin.” [HR. Abu Dawud no. 5035 dan Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah
no. 251. Lihat Shahiihul Jami’ no. 684]
Dan
jangan mendo’akan orang yang bersin lebih dari tiga kali serta jangan pula
mengucapkan kepadanya do’a:
شَفَاكَ
اللهُ وَعَافَاكَ.
“Semoga Allah memberikan kesembuhan dan menjagamu.”
Karena
seandainya hal tersebut disyari’atkan maka tentulah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mencontohkannya.
·
Apabila
ada orang yang bersin sedangkan imam sedang berkhutbah (Jum’at), maka ia harus mengucapkan alhamdulillah (dengan merendahkan suara)
dan tidak wajib untuk dijawab yarhamu-kallah karena diam dikala khutbah Jum’at
adalah wajib hukumnya.
·
Barangsiapa
yang bersin sedangkan ia dalam keadaan tidak dibolehkan untuk berdzikir (memuji
Allah), misalnya sedang berada di WC,
apabila ia khilaf menyebutkan alhamdulillah, maka tidak wajib bagi kita yang
mendengarkannya untuk menjawab yarhamukallah. Hal ini karena berdzikir di WC
terlarang. [Lihat kitab Adaabut Tatsaa-ub wal ‘Uthas oleh ar-Rumaih]
[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin
‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim
Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan
Kedua Shafar 1427H - Maret 2006M]
16.
ADAB TERTAWA dan BERSENDAU GURAU
·
Allah Subhanahu
Wata’ala telah menciptakan tertawa, sebagaimana firmanNya:
وَأَنه
ُُهوَ أَضحكَ وَأَبكى
"Dialah dzat Allah yang menciptakan
tertawa dan menangis". [1]
QS An Najm: 43
·
Tertawa adalah
sifat Allah Azza Wa Jalla, sebagaimana disebutkan di dalam hadits:
يَضْحَكُ
اللهُ إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا ْالآخَرَ يَدْخُلاَنِ
الْجَنَّةَ,يُقَاِتلُ هذَا فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيُقْـتَل, ثُمَّ يَتُوْبُ اللهُ
عَلىَ اْلآخَرِ فَيُسَلِمَ فَيُقَاِتلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيَسْتَشْهِدَ
"Allah
Subhanahu Wata’ala tertawa terhadap dua
orang, dimana salah satunya membunuh yang lain dan mereka berdua masuk surga.
Yaitu seseorang berjihad dijalan Allah kemudian dia terbunuh padanya, lalu
Allah menerima taubat orang yang membunuh tersebut setelah masuk Islam,
kemudian ia berjihad dijalan Allah dan akhirnya mati sahid".[2]
HR.Shohih Al Jami"
·
Memperbanyak
ketawa adalah sifat tercela sebagaimana sabda Nabi Sallallahu Alayhi
wasallam:
وَالَّذِي
نَفْسِي ِبيَدِهِ لَوْتَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً
وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا
"Demi Dzat yang diriku
berada di tanganNya seandainya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui,
niscaya kalian pasti akan sedikit tertawa dan banyak menangis ".[3][1] HR.Silsilah hadits shohihah
Juga sabda Rasulullah SAW:
لاَ
تُكْثِرُوْا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكَ تُمِْيتُ اْلقَلْبَ
"Janganlah kalian banyak tertawa, sebab banyak tertawa
menyebabkan hati menjadi mati".[4] HR.Shohih At Targhib
·
Para ulama
memasukkan tertawa yang banyak tanpa sebab sebagai dosa kecil, sebagaimana
sabda Nabi SAW:
إِيَاكَ
وَكَثْرَةَ الضَّحِكَ فَإِنَّهُ يُمِيْتُ اْلقَلْبَ
"Berhati-hatilah dengan banyak tertawa sebab ia menyebabkan
hati menjadi mati".[5] HR. Shohih Al Jami"
·
Terdapat riwayat
tentang sifat tertawanya Nabi SAW: "Bahwasannya tertawa Rasulullah SAW
(sama seperti) tersenyum".[6]
HR.Shohih At Targibh
·
Terkadang tertawa
menyebabkan kekufuran apabila tertawanya untuk mengejek apa-apa yang diturunkan
Allah atau sunnah Rasulullah SAW.
·
Tidak
diperbolehkan berbohong untuk ditertawakan oleh orang lain, hal ini sebagaimana
dijelaskan Rasulullah SAW:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ
فَيَكْذِبَ لِيَضْحَكَ بِهِ اْلقَوْمُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
"Celaka bagi orang yang berkata kemudian berbohong supaya
orang-orang tertawa, maka celaka baginya, maka celaka baginya".[7]
HR.Abu Daud no:4990 dan
dihasankan oleh Al Albani
·
Disebutkan
bahwasannya Nabi SAW terkadang duduk dalam suatu majlis bersama para
shahabatnya di mana mereka menceritakan suatu yang lucu dan Rasulullah SAW hanya
tersenyum dengannya.[8]
HR.Shohih An-Nasa'i
·
Sebagaimana yang
diriwayatkan dari Samak bin Harb radhiallahu anhu ia berkata: Aku bertanya
kepada Jabir bin Samurah: Apakah engkau pernah duduk bersama Rasulullah SAW ?”.
Dia menjawab: “Ya, seringkali beliau tidak beranjak meninggalkan tempat
sholatnya pada waktu shubuh atau pagi sampai matahari terbit, apabila matahari
terbit maka beliau bangkit (untuk melaksanakan shalat) dan mereka
bercakap-cakap tentang suatu peristiwa di zaman jahiliyyah maka mereka
tertawa-tawa sedangkan beliau hanya tersenyum saja.
·
Terdapat jenis
manusia yang pandai bersendagurau seperti yang terjadi di zaman Rasulullah SAW,
terdapat seseorang bernama Abdullah, digelari dengan keledai dan dia terkadang
membuat Rasulullah SAW tertawa.
·
Hal-hal yang
menyebabkan tertawa adalah (karena gembira apabila melihat sesuatu yang
menggembirakan, tertawa karena marah, disebabkan oleh keheranan orang yang
marah).
·
Syariat menuntun
untuk menciptakan suasana yang menyebabkan tertawa pada saat bersenda gurau
dengan istri terutama yang masih perawan sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Jabir tatkala ia menikah dengan seorang
janda.
فَهَلاَّ
جَاِريَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبَكَ وَتُضَاحِكَهَا وَتُضَاحِكَكَ
"Kenapa tidak menikahi seorang perawan, yang bisa
mencandaimu dan engkau mencandainya serta engkau membuatnya tertawa begitu juga
ia membuatmu tertawa".[9]
·
Meninggalkan
senyum dan tertawa secara mutlak bukan termasuk sikap orang yang berwibawa, pendiam dan bersungguh.
·
Tertawa yang
mengeluarkan suara dapat merusak shalat. Sebagian ulama berkata: Ia tidak
membuat shalat menjadi rusak sebab bukan perkataan, begitu juga tersenyum tidak
merusak atau membatalkan shalat.
17. ADAB BERSENDA GURAU
·
Bercanda adalah
perkataan yang dimaksudkan untuk melapangkan dada, dan tidak sampai menyakiti,
bila menyakiti maka berubah menjadi mengejek.
·
Diriwayatkan
bahwasannya Rasulullah SAW bercanda, bahkan beliau becanda dengan
saudara Anas bin Malik radhiallahu anhu dengan mengatakan: يَا أَبَا عُمَيْرُ ماَ فَعَلَ
النُّغَيْرُ “'Wahai Abu Umair apa yang dilakukan burung
kecil". [10] As Syamail Al Muhamadiyah 4813
Beliau SAW juga bercanda dengan Anas
bin Malik: "Wahai yang punya dua telinga".[11]
Misykat Al Mashabih 4813
·
Bercanda juga
dianjurkan di antara saudara dan sahabat sebab hal itu dapat membuat hati
menjadi tenang.
·
Saat bercanda
jangan sampai menuduh, menceritakan aib orang, tenggelam dalam canda yang dapat
menurunkan harga diri, mengurangi kewibawaan pribadi, perkataan kotor yang
dapat menimbulkan permusuhan, tidak memunculkan keributan dan tindakan bodoh,
tidak memunculkan pengkhianatan dan tidak pula bermuatan kebohongan.
·
Di antara canda
para shahabat radhiallahu anhum adalah saling melempar semangka, sementara
dalam pentas realita mereka adalah para pejuang.
·
Di antara
bercanda dan bermain yang tidak diperbolehkan sebagaimana diterangkan dalam
hadits riwayatkan Abdullah bin As Saib RA dari Ayahnya dan dari kakeknya ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
لاَ
يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لاَعِبًا وَلاَ جِدًّا فَإِنْ أَخَذَ
أَحَدُكُمْ عَصَا صَاحِبِهِ فَلْيَرُدُّ إِلَيْهِ
"Janganlah seseorang diantara kalian
mengambil harta saudaranya dengan main-main atau sengaja, Jika di antara kalian
mengambil tongkat saudaranya maka hendaklah dia mengembalikannya".[12]
Shahih al Adab 180
·
Tidak
memperbanyak bersendra gurau, jika hal tersebut melewati batas sehingga
terbentuk menjadi tabi’at pribadi, akhirnya menjatuhkan harga dirimu dan para
penganggur mempermainkanmu.
o Hendaknya senda gurau dilakukan pada waktunya yang sesuai.
o Tidak tenggelam dan terlewat batas.
o Tidak berbicara dengan perkataan yang buruk.
o Tidak bersenda gurau dengan memperolok-olok agama.
o Tidak bersendra gurau dengan orang-orang yang bodoh.
o Hendaknya menjaga perasaaan orang lain.
o Bersanda gurau dengan orang yang lebih tua dan alim dengan sesuatu
yang pantas.
o Tidak terbuai sampai tertawa terbahak-bahak.
Tidak memudharatkan diri sendiri
Disusun Oleh Dzulqarnain Bin Iskandar. (Soppeng 15 Januari 2015
Referensi
Muslim Or.Id
Muslim House
Abdullah Tausikal/Rumahsyo
[1] QS An Najm: 43
[2] HR.Shohih Al Jami"
[3] HR.Silsilah hadits
shohihah
[4] HR.Shohih At Targhib
[5] HR. Shohih Al Jami"
[6] HR.Shohih At Targibh
[7] HR.Abu Daud no:4990
dan dihasankan oleh Al Albani
[8] HR.Shohih An-Nasa'i
[9] HR.Bukhari dengan memakai
lafaz darinya dan Muslim
[10] As Syamail Al
Muhamadiyah 4813
[11] Misykat Al Mashabih
4813
Tidak ada komentar:
Posting Komentar